Dylan berdiri di depan jendela ruang rawat inap dengan pikiran kacau. Tangannya menggenggam erat buku sketsa bersampul merah hati. Gadis bertubuh mungil yang bersama Lizzy semalam memberikannya sesaat sebelum Lizzy dibawa ke rumah sakit. Salah satu suster memberitahu Dylan bahwa setelah melunasi tagihan rumah sakit, gadis yang dirawat disini memaksa untuk pulang sekitar satu jam yang lalu dan tampak terburu-buru. Dylan tak bisa menghubungi Lizzy karena ia telah menghapus nama gadis itu dari daftar kontak di ponselnya dan memblokir semua panggilan darinya, dia juga tak ingat nomor ponsel Lizzy karena dia sangat payah dalam hal menghapal. Sekarang Dylan sangat menyesal atas tindakan bodohnya itu.
Semalam, dia tidak bisa menunggui Lizzy di rumah sakit karena harus ke menghadiri pertemuan sekaligus jamuan makan malam bersama PSSI dan Disporapar. Kemarin, Training Center resmi berakhir dan skuad yang akan berlaga di Piala Dunia U-20 bulan Juni mendatang sudah diumumkan. Sebagian besar pemain didampingi oleh salah satu dari orang tuanya di acara tersebut. Sampai-sampai Edo membawa seluruh keluarga inti beserta kakak dan adiknya. Sementara Dylan hanya didampingi oleh ayahnya yang bahkan jauh lebih berbahagia dibanding Dylan. Tanggung jawab yang besar ini adalah impian Dylan yang menjelma nyata. Memacu Dylan untuk mempersembahkan kemampuan terbaiknya bagi Indonesia dan memberikan rasa bangga kepada kedua orang tuanya. Sekaligus pembuktian atas satu kesempatan yang dikabulkan oleh ibunya. Satu-satunya hal yang paling dicemaskan oleh ibunya bahwa dia tidak ingin anaknya berada di Indonesia. Dia tidak ingin Dylan mengalami kepahitan yang sama sepertinya. Tertolak, terusir, terabaikan. Tapi dengan membaiknya hubungan ayah dan kakeknya, Dylan yakin, kekhawatiran ibunya perlahan-lahan akan sirna.
Nada dering Garuda Di Dadaku memenuhi ruangan senyap itu, tertera nama Edo Black Sweet di layar ponsel Dylan. Selain kompak di lapangan hijau, Dylan dan Edo juga akrab di luar lapangan. Remaja Papua yang kocak dan polos itu sekamar dengan Dylan. Entah kapan dia mengganti sendiri nama kontaknya di ponsel Dylan. “Halo, Do!”
“Leeeen!” Edo memekik di seberang sana, membuat Dylan terpaksa menjauhkan ponsel dari telinganya. Belum lagi Dylan berkata apapun, Edo menceracau cepat dengan logat Papua yang kental. “Sa di airport ini, antar pulang mama, bapa, deng kaka ade. Ko tahu, kah? Sa, lihat si bule gila disini. Pacar ko, kan?”
Dylan tak mendengarkan lagi ocehan Edo selanjutnya, dia langsung bergegas keluar dari ruangan itu. Pikirannya kalut, rasa menyesal pun tak luput darinya. Keduanya adalah kombinasi yang buruk saat-saat seperti ini. Sneakers Dylan yang beradu dengan lantai, sesekali menimbulkan bunyi berdecit. Saking tergesanya, dia tak mendengar seseorang memanggilnya di lobi rumah sakit.
“Dylan!” Orang itu memanggil untuk kedua kalinya.
Dylan menghentikan langkah dan menoleh. Dalam hati dia berdoa semoga itu bukan salah satu penggemar yang ingin minta tanda tangan. Ini sama sekali bukan waktu yang tepat.
“Hai!” gadis itu melambaikan sebelah tangannya.
“Oh! Kamu teman Lizzy, kan?” Dylan merasa sedikit lega.
“I-iya,” jawabnya terbata-bata. Tak menduga Dylan, pemain timnas idola kaum hawa se- Indonesia Raya, bisa mengenalinya.
“Ayo ikut.” Dylan menelengkan kepala mengajaknya.
“Ke-kemana?” Dora berusaha menyejajari langkah Dylan yang cepat dan panjang. Hatinya semakin berbunga-bunga karena Dylan yang tampan mengajaknya pergi. Aww! Mimpi apa gue, batinnya.
“Menyusul Lizzy ke bandara.” Dylan menjawab singkat.
“Ya ampun! Si bucin itu mau balik ke Amrik nggak pamit sama gue? Nggak ada akhlak emang!” omel Dora.
***
Lizzy berpapasan dengan pemuda berkulit gelap dan berambut kribo, kurus dan tinggi. Sekilas mirip dengan hantu Halloween berkostum skully. Dia memandang Lizzy dengan tatapan takjub dan mulut terbuka lebar. Seakan-akan Lizzy juga hantu Halloween sama seperti dirinya.
Dia menunjuk Lizzy sambil mengucapkan sesuatu dalam Bahasa Indonesia. “Ko pacar Delen, kah? Yang pingsan tadi malam.”