Bright Blue Autumn

Ariesta Mansoer
Chapter #14

LOVE YOU MORE

Lizzy duduk termenung di bangku panjang di terminal keberangkatan internasional. Pesawatnya akan lepas landas tiga puluh menit lagi tapi dia belum juga masuk ke ruang tunggu. Dia belum siap meninggalkan Indonesia. Dia masih ingin bertemu Dylan, pemuda pertama yang berhasil menjatuhkan hatinya. Dylan membuatnya mencoba semua hal baru. Dylan memberikannya keberanian untuk bermimpi. Andai saja malam itu dia tidak mengucapkan hal jahat itu. Seharusnya dia mengakui saja perasaan yang telah tumbuh di hatinya untuk pemuda itu. Jika saja Lizzy menyatakan perasaannya lebih dulu pada Dylan, mungkin saat ini mereka tidak akan berpisah. Lizzy menahan diri agar air matanya tak tumpah. Dadanya disesaki oleh penyesalan, perjalanannya melintasi Benua Amerika dan Asia berakhir menyedihkan. Setelah ini, dia takkan pernah melihat Dylan lagi.

I’m gonna miss your electric blue eyes,” ucapnya pelan.

***

And I’m gonna miss your raspberry cheek.” Dylan berlutut di hadapannya dan meletakkan buku sketsa bersampul merah hati di pangkuan Lizzy.

Gadis itu hampir tak percaya dengan penglihatannya, bagaimana mungkin Dylan bisa mengetahui keberadaannya sementara mereka tak pernah sempat bertemu. Lizzy mulai terisak-isak, banyak hal yang ingin dikatakannya pada Dylan namun suaranya seperti tercekat di tenggorokan.

Don’t cry. It was my fault.” Dylan mengusap pipi Lizzy. “I just can’t believe you’ve came this far. Now I’ve figured it out, we just feel the same.”

Tatapan Lizzy lurus ke mata Dylan. “Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada kita setelah ini. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa mengenalmu, datang ke tempat ini dan kembali bermain gitar adalah hal terhebat yang pernah terjadi padaku. Sungguh, bagiku ini adalah musim gugur yang sangat indah.”

Dylan menggenggam erat kedua tangan Lizzy. “Ini juga musim gugur terindah dalam hidupku. Mimpi-mimpiku telah terwujud. Sepak bola dan … kamu.”

***

Edo dan Dora yang berjarak beberapa meter dari Dylan dan Lizzy ikut terharu menyaksikan pemandangan romantis nan dramatis itu. Dora sampai meneteskan air mata.

“Ko kenapa, kah?” tanya Edo.

“Terharu, tauk! Dasar cowok nggak punya perasaan!” Dora memukul bahu Edo.

Edo menangkap tangan Dora dan menjabatnya. “Sa punya nama Kaka Edo Black Sweet. Ko panggil saja Kaka. Ko punya nama siapa, kah?”

Dora mendadak tersipu, sisa air mata masih menggenang di pipinya. “Dora,” jawabnya malu-malu.

“Dora yang ransel-ransel itu, kah?” Ternyata bukan hanya jahil, Edo juga seorang pemuda yang kurang peka. Bisa-bisanya dia bercanda di depan gadis yang sedang melankolis.

Lihat selengkapnya