"Inet, lo sehat?!"
Brinet menyembulkan wajahnya dari buku matematika yang sedang ia baca. Ia memiringkan kepalanya, seolah memunculkan tanda tanya atas perkataan Gina barusan.
Gina memelankan nada suaranya, berusaha agar tidak menarik perhatian teman-teman sekelasnya.
"Kemarin lo nolak Kelvin?" bisik Gina.
Brinet mengangguk.
"Seriously?!"
Gina menggeleng-geleng tak sabar. Entah apa yang ada di pikiran gadis mungil di depannya ini. Brinet kembali berkutat dan menenggelamkan wajahnya di depan buku Matematika.
"Net, gua ngga paham lagi, deh, apa yang ada di pikiran lo! Seorang Kelvin Bastian, OMG! Anggota tim basket, multi-talented, ganteng, tinggi, ranking 1 di kelasnya tahun lalu, selebgram! Kurang apa lagi dia, Net, ya Tuhan..."
"Inet ngga mau pacaran, Gina..." sahut Inet, masih dari balik buku Matematikanya. "Lagian, menurut radar Inet, ada yang perlu Inet waspadai soal Kelvin. Jadi, Inet ngga mau terlalu deket."
PLOK! PLOK! PLOK!
"Serius banget, sih, pagi-pagi! Ada berita apa, nih?"
"Der, ngagetin aja lo!" seru Gina. Gina protes karena baru saja Derian menepukkan tangannya, seperti orang yang bertepuk tangan. "Tuh, temen lo, abis nolak Kelvin Bastian," sambung Gina setengah berbisik.
"Oh ya?" Derian menaikkan alis. Cukup terkejut dengan berita barusan. Sejak kapan Kelvin suka sama Brinet?
Tanpa menyembulkan wajahnya kembali, tentu saja Brinet tahu siapa pemilik suara tersebut.
"Iyan ngapain ke sini pagi-pagi?" tanya Brinet, masih dari balik buku Matematika-nya.
"Hey, kalau ngomong, lihat lawan bicaranya." Derian menurunkan buku Matematika yang menjadi penghalang untuk melihat wajah Brinet. "Serius lo nolak Kelvin?"
Seketika Brinet mengerucutkan bibir dan cemberut. "Apa, sih, Iyan, Inet lagi belajar! Nanti siang mau ada ulangan Matematika! Soal Kelvin, Inet cuma bilang kalau Inet ngga mau pacaran, dulu! Itu aja!"
Derian tertawa pelan, kemudian menyodorkan sebatang cokelat dengan balutan merah sebagai pembungkusnya.
"Ya udah ngga usah marah-marah. Nanti kalo ada yang lo ngga ngerti, kasih tau gue aja biar gue ajarin."
Brinet membulatkan matanya melihat apa yang disodorkan Derian.
"Buat Inet?" tanyanya dengan wajah berseri-seri. Sedangkan Gina? Dia hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah keduanya. Pelan-pelan, Gina menaruh tas ranselnya, di kursi sebelah Brinet, yang memang merupakan kursi duduknya selama di kelas ini.
Derian mengangguk. "Ucapan terima kasih, karena udah ngobatin luka gue."
"Yeay! Thank you, Iyan!" Brinet berseru senang sambil menyambar tangan Derian dan menggenggamnya sejenak, secara spontan. "Kalo gitu kapan-kapan Inet obatin lagi, ngga apa-apa, deh!"
"Hmm, katanya ngga boleh berantem lagi?" tanya Derian dengan tatapan menyelidik dan sok serius.
"Yaa, lebih baik ngga berantem, dong!" seru Brinet, sambil tertawa pelan.
Melihat ekspresi itu, mau tak mau, Derian mengembangkan senyum.