Editor pelaksana memanggil saya ke kantornya pada pukul 10.00 pagi dan mengatakan bahwa saya perlu membersihkan gigi saya. Dia mengatakan asuransi gigi saya akan berakhir pada hari terakhir saya bekerja di surat kabar itu. Artinya lima minggu lagi, katanya.
Lebih dari dua ratus orang dirumahkan pada hari itu. Berita itu sedikit melambungkan harga saham perusahaan induk kami. Saya memiliki sejumlah saham dan mempertimbangkan untuk menjualnya—lebih karena ironi daripada mengejar laba—demi memanfaatkan situasi atas pemecatan saya.
Akan tetapi, saya malah berjalan kaki di seputar area bagian selatan Manhattan dalam keadaan setengah sadar. Kebetulan, saat itu sedang hujan. Saya berdiri di bawah balkon dan menelepon laki-laki yang seharusnya saya temui malam itu.
“Aku baru saja dipecat,” kata saya.
“Apa kamu tidak merasa kacau?” tanyanya. “Kamu masih ingin makan malam?”
Sebenarnya, saya lega. Saya akhirnya terbebas dari pekerjaan yang—setelah hampir enam tahun—ingin saya tinggalkan, tetapi selama ini saya tidak punya keberanian untuk meminta berhenti. Saya adalah reporter biro luar negeri di New York yang bertugas meliput pemilihan umum dan krisis keuangan di Amerika Latin. Saya sering ditugaskan dengan pemberitahuan beberapa jam sebelumnya, kemudian menghabiskan berminggu-minggu tinggal di hotel. Untuk beberapa waktu, atasan saya mengharapkan hal besar dari saya. Mereka berbicara tentang peluang saya menduduki jabatan redaktur. Mereka membiayai saya belajar bahasa Portugis.
Akan tetapi, tiba-tiba saja mereka tidak mengharapkan apa pun. Dan anehnya, saya tidak keberatan dengan itu. Saya sangat menyukai film tentang koresponden luar negeri. Namun, benar-benar menjalani profesi tersebut rasanya berbeda. Biasanya saya sendirian, dibelenggu cerita tanpa akhir, tanpa henti menerima panggilan dari editor yang menginginkan lebih banyak berita. Saya kadang membayangkan berita seperti banteng rodeo mekanis. Para laki-laki yang bekerja dengan ritme yang sama dengan saya bisa menggaet istri dari Kosta Rika dan Kolombia, yang bepergian bersama mereka. Setidaknya makan malam sudah terhidang di meja ketika mereka akhirnya pulang ke rumah. Laki-laki yang saya kencani tidak bisa diajak ke sana-kemari. Lagi pula, saya jarang tinggal di sebuah kota untuk waktu yang cukup lama, bahkan tidak memungkinkan kami melakukan kencan ketiga.
Meskipun lega karena akhirnya bisa keluar dari surat kabar itu, saya tidak siap menjadi racun sosial. Sekitar seminggu setelah pemecatan, ketika saya masih datang ke kantor, rekan-rekan kerja memperlakukan saya seolah-olah saya berpenyakit menular. Orang yang sudah bekerja dengan saya selama bertahun-tahun tidak mengatakan apa-apa dan menghindari meja saya. Salah seorang rekan kerja mengajak saya makan siang perpisahan, kemudian tidak mau berjalan kembali ke gedung bersama saya. Lama setelah saya mengosongkan meja, editor saya—yang sedang di luar kota ketika vonis dijatuhkan—bersikeras agar saya kembali ke kantor untuk melakukan wawancara yang memalukan. Dalam sesi itu, dia mengusulkan agar saya kembali melamar pekerjaan untuk posisi yang lebih rendah, kemudian bergegas pergi makan siang.
Ada dua hal yang tiba-tiba jelas bagi saya: saya tidak ingin menulis tentang politik atau uang lagi. Dan, saya ingin punya pacar. Saya sedang berdiri di dapur yang lebarnya hanya satu meter, bertanya-tanya apa yang akan saya lakukan sepanjang sisa hidup saya, ketika Simon menelepon. Kami bertemu enam bulan sebelumnya di sebuah bar di Buenos Aires, ketika teman saya mengajaknya ke malam pesta koresponden luar negeri. Simon adalah jurnalis Inggris yang sedang berada di Argentina selama beberapa hari untuk menulis kisah tentang sepak bola. Saya dikirim untuk meliput kejatuhan ekonomi negara itu. Ternyata, kami naik pesawat yang sama dari New York. Dia mengingat saya sebagai wanita yang bersedia menunda boarding ketika sudah ada di gangway karena sadar bahwa saya meninggalkan barang belanjaan bebas pajak di ruang tunggu keberangkatan dan bersikeras untuk kembali dan mengambilnya. (Saya melakukan sebagian besar kegiatan belanja di bandara).
Simon benar-benar tipe pria kesukaan saya: berkulit gelap, kekar, dan cerdas. (Meskipun dia mempunyai tinggi badan rata-rata, dia kemudian menambahkan “pendek” ke daftar ini karena dia tumbuh besar di Belanda di tengah para raksasa berambut pirang.) Dalam beberapa jam berjumpa dengannya, saya menyadari bahwa “cinta pada pandangan pertama” artinya hanyalah tiba-tiba merasa sangat tenang bersama seseorang. Walaupun begitu, yang saya katakan kepadanya waktu itu hanyalah, “Kita jelas tidak boleh tidur bersama.”
Saya jatuh cinta, tetapi merasa waswas. Simon baru saja meninggalkan pasar real estat London untuk membeli apartemen murah di Paris. Saya bepergian antara Amerika Selatan dan New York. Menjalin hubungan jarak jauh dengan seseorang di benua ketiga sepertinya tidak akan mudah. Setelah pertemuan di Argentina waktu itu, kami sesekali bertukar surel. Namun, saya tidak membiarkan diri saya menganggapnya terlalu serius. Saya berharap ada pria berkulit gelap dan cerdas yang tinggal di zona waktu yang sama dengan saya.
Tujuh bulan berikutnya, Simon tiba-tiba menelepon dan saya mengatakan kepadanya bahwa saya baru saja dipecat. Dia tidak menunjukkan emosi yang meluap-luap atau memperlakukan saya seperti barang rusak. Sebaliknya, dia tampak senang karena saya tiba-tiba memiliki waktu luang. Simon mengatakan dirinya merasa kami memiliki “urusan yang belum selesai”, dan bahwa dia ingin datang ke New York.
“Itu ide buruk,” kata saya. Apa gunanya? Dia tidak bisa pindah ke Amerika karena dia menulis tentang sepak bola Eropa. Saya tidak bisa berbahasa Prancis, dan saya tidak pernah mempertimbangkan untuk tinggal di Paris. Meskipun tiba-tiba saya bisa bebas pergi ke mana pun, saya khawatir akan ditarik masuk ke orbit orang lain sebelum saya kembali memiliki orbit saya sendiri.
Simon tiba di New York mengenakan jaket kulit lawas yang sama dengan yang dia kenakan di Argentina. Dia juga membawa bagel dan salmon asap yang dia beli di deli dekat apartemen saya. Sebulan kemudian, saya menemui orang tuanya di London. Enam bulan kemudian, saya menjual sebagian besar barang saya dan mengirim sisanya ke Prancis. Semua teman saya mengatakan bahwa saya gegabah. Saya mengabaikan mereka dan keluar dari apartemen studio saya yang harga sewanya stabil di New York dengan tiga koper besar dan satu kotak koin Amerika Selatan, yang saya berikan kepada sopir Pakistan yang membawa saya ke bandara.
Dan tiba-tiba, saya menjadi orang Paris. Saya pindah ke apartemen bujangan dua kamar milik Simon di distrik yang dulunya area pertukangan kayu di Paris timur. Dengan uang pesangon yang masih mengalir, saya meninggalkan dunia jurnalisme keuangan dan mulai meneliti untuk menulis sebuah buku. Saya dan Simon masing-masing bekerja di salah satu ruangan apartemen pada siang hari.
Kilau romansa baru kami dengan cepat meredup, sebagian besar karena masalah desain interior. Suatu kali saya membaca buku tentang feng shui yang mengatakan bahwa menumpuk barang di lantai adalah tanda depresi. Bagi Simon, ini hanya tanda keengganannya terhadap rak. Dia dengan cerdasnya telah berinvestasi pada meja kayu besar tidak dipernis yang memenuhi seluruh ruang tamu, dan sistem pemanas gas yang primitif, yang meyakinkan bahwa tidak ada air panas yang bisa diandalkan. Saya terutama kesal oleh kebiasaannya membiarkan uang kembalian dari sakunya berceceran di lantai, yang entah bagaimana akhirnya terkumpul di sudut setiap ruangan. “Singkirkan uang-uang itu,” pinta saya.
Saya juga tidak menemukan kenyamanan di luar apartemen. Meski berada di ibu kota gastronomi dunia, saya tidak bisa menentukan apa yang akan saya makan. Seperti kebanyakan perempuan Amerika, saya tiba di Paris dengan pilihan makanan yang ekstrem. (Saya seorang vegetarian yang berpegang pada diet Atkins.) Ketika berjalan-jalan di sekitar apartemen, saya merasa terkepung oleh semua toko roti dan menu restoran yang penuh daging. Untuk sementara waktu, saya bisa bertahan nyaris hanya dengan omelet dan salad keju-kambing. Ketika saya meminta pelayan untuk menaruh dressing-nya di tepi piring, mereka menatap saya seolah-olah saya gila. Saya tidak mengerti mengapa supermarket Prancis menjual semua sereal Amerika kecuali sereal favorit saya, Grape-Nuts, dan mengapa kafe-kafe di sini tidak menyediakan susu bebas lemak.
Saya tahu kedengarannya saya seperti tidak bersyukur karena tidak jatuh cinta pada Paris. Mungkin saya merasa terlalu dangkal untuk jatuh cinta pada suatu kota hanya karena pemandangannya sangat cantik. Kota-kota yang pernah membuat saya jatuh cinta pada masa lampau sedikit lebih, well, muram: São Paulo, Mexico City, New York. Kota-kota itu tidak sekadar duduk manis dan menunggu untuk dikagumi.
Area tempat tinggal kami di Paris bahkan tidak sebegitu cantik. Selain itu, kehidupan sehari-hari saya diliputi kekecewaan-kekecewaan kecil. Tidak ada yang menyebutkan bahwa “musim semi di Paris” dirayakan besar-besaran karena cuaca selama tujuh bulan sebelumnya selalu mendung dan sangat dingin. (Saya tiba di Paris, sayangnya, pada awal masa tujuh bulan ini.) Dan, sementara saya yakin bahwa saya mengingat bahasa Prancis yang saya pelajari saat duduk di kelas delapan, orang-orang Paris punya nama lain untuk bahasa yang saya ucapkan kepada mereka: bahasa Spanyol.
Banyak hal menarik tentang Paris. Saya menyukai pintu metro yang membuka beberapa detik sebelum keretanya benar-benar berhenti, memperlihatkan bahwa kota ini memperlakukan warganya seperti orang dewasa. Saya juga suka bahwa, dalam enam bulan sejak kedatangan saya, hampir semua orang yang saya kenal di Amerika datang berkunjung, termasuk orang-orang yang belakangan saya kategorikan sebagai “teman di Facebook”. Saya dan Simon akhirnya menerapkan kebijakan penerimaan yang ketat dan sistem pemeringkatan untuk tamu rumah. (Petunjuk: Kalau Anda menginap satu minggu, tinggalkan hadiah.)