Rumah itu adalah tempat kita tumbuh bersama. Lihatlah pohon jambu itu. Ia masih berdiri kekar, meski buahnya sudah mulai jarang. Ingatkah kau saat mengajakku memanjatnya tanpa sepengetahuan Ayah? Ayah bilang, anak perempuan tidak boleh memanjat pohon. Tetapi kau meyakinkanku, bahwa aku aman di genggamanmu. Takut-takut, kupanjat batang pohon satu demi satu. Saat itu, buahnya masih rimbun. Aku dapat merasakan buahnya menyentuh ubun-ubunku. Ranum sekali. Jambu air berwarna merah yang menggiurkan. Pada hari libur, Ayah akan memetik banyak-banyak dan Bunda akan membuat bumbu rujak. Bunda pernah melarang, jangan coba-coba memakan bumbu rujak yang superpedas. Memang dasar nakal, kita cicipi juga bumbu rujak itu. Hasilnya, kita sakit perut sampai diare. Bunda juga yang repot mengurus kita. Anehnya, kita tidak juga kapok memakan bumbu itu. Apalagi, dicocol jambu air yang segar. Surga dunia benar-benar diraih.
Seiring berjalannya waktu, rumah terus mengalami perubahan. Ayah merenovasinya sedikit demi sedikit. Dari yang tadinya berukuran tipe 21 menjadi tipe 72. Dari yang kosong tiada perabotan berarti, menjadi penuh perabotan bermerek. Walaupun tetap saja kita bukan keluarga yang superkaya. Bunda mengajarkan untuk hidup hemat. Makan jangan disisakan, jajan jangan banyak-banyak. Bahkan, kita sering ke sekolah naik sepeda. Aku yang lebih sering mengeluh kecapaian setelah satu jam menggowes sepeda.
Bagaimana aku bisa melupakan kehangatan rumah yang sudah kurasakan sejak pertama melihat dunia? Kau, Ayah, dan Bunda adalah bagian dari hidupku yang tidak ingin kulepaskan sampai kapan pun. Aku tidak rela kehilangan kenangan manis bersama kalian.
Toyota Rush warna silver memasuki pelataran Rumah Sakit Bersalin Kasih Bunda. Di dalamnya, Lidya memegangi perutnya yang terus berkontraksi sejak masih di rumah. Calon bayi pertamanya agaknya akan lahir sebentar lagi, terlambat dua hari dari Hari Perkiraan Lahir yang jatuh 2 Desember. Lidya merintih, posisi duduknya sudah tidak nyaman. Dia ingin secepat mungkin memasuki ruang bersalin. Rahman, suaminya, juga panik, sehingga kurang pas memosisikan mobilnya di tempat parkir. Setelah mobil berhenti, Rahman secepatnya ke luar dan membukakan pintu untuk Lidya. Istrinya masih terus mengusap-usap perutnya yang menegang dan nyeri. Rahman menawarkan diri untuk menggendong Lidya, tapi istrinya menolak dan lebih memilih berjalan cepat-cepat menuju ruang bersalin.
Suster jaga sesegera mungkin mengantar Lidya ke ruang bersalin, sementara Rahman mengurus administrasi. Dokter kandungan langganan mereka masih di perjalanan. Tiga orang suster bersiaga mengurus proses persalinan Lidya, mengganti pakaian Lidya dengan pakaian bersalin dan salah seorang dari mereka memeriksa pembukaan.
“Sudah bukaan 6, Bu. Sebentar lagi, melahirkan. Sabar, ya, dokter masih di jalan. Sebentar lagi, sampai,” kata Suster tersebut.
Lidya mengangguk sambil tetap merintih dan memegangi perutnya. Rahman datang menemani sang istri yang tengah berjuang melahirkan bayi pertama mereka.
“Bapak mau menemani Ibu di sini?” tanya seorang Suster.
Rahman terlihat ragu. Ini pengalaman pertamanya. Dia ingin mendampingi sang istri, tapi juga takut menyaksikan proses melahirkan.
“Kang, tunggu di luar saja … enggak apa-apa kalau takut …,” ujar Lidya. Tangan mereka berpegangan.
“Kalau sekiranya akan meninggalkan trauma, sebaiknya jangan, Pak,” kata Suster.
“Saya akan menemani sampai dokter datang, Sus,” jawab Rahman.
“Baiklah. Saya tinggal dulu, ya. Nanti kalau terasa bayinya mendorong, pencet bel saja,” Suster berkata sambil memandang bel di belakang ranjang Lidya.
“Bagaimana saya tahu bayinya mendorong?” Lidya meringis. Ini pengalaman pertamanya melahirkan. Semua terasa baru untuknya.
“Kalau kontraksinya sudah kuat sekali dan Ibu sudah tidak dapat menahannya. Seperti orang mau buang air besar saja. Tapi, Ibu jangan dorong dulu sebelum kami datang dan kasih intruksi, ya,” Suster tersenyum, lalu pergi.
Proses melahirkan begitu menegangkan, tidak saja untuk Lidya, tapi juga untuk Rahman. Setelah menikah selama lima tahun, akhirnya mereka dikaruniai momongan. Calon bayi yang dinanti-nanti sejak bulan pertama menikah. Penantian yang cukup panjang, bahkan sempat memicu pertengkaran di antara mereka. Sebagian besar perempuan yang menikah, langsung hamil di bulan pertama pernikahan. Saking bersemangat, Rahman sampai membelikan test-pack di bulan pertama pernikahan. Sayangnya, Lidya masih mendapatkan menstruasi.
Bulan kedua, bulan ketiga, sampai Rahman bosan membelikan test-pack, karena menstruasi masih rutin menyambangi istrinya. Dua tahun setelah menikah, mereka tidak juga dikaruniai momongan. Keduanya pun mematahkan keengganan memeriksakan diri ke dokter kandungan. Tidak ada yang bermasalah dengan organ reproduksi mereka. Mereka sehat, hanya harus sabar menunggu. Ini hanya soal waktu. Calon bayi mereka memilih waktunya sendiri untuk dilahirkan, dan itu baru terjadi lima tahun kemudian.
Lidya merintih lagi, kontraksinya semakin kuat dan sakit, membuatnya tidak tahan berteriak.
“Kang, sakit Kang …. Neng enggak kuaaat ….” Lidya memegang tangan suaminya kuat-kuat.