Memandangmu di bawah sinar bulan.
Kutemukan dua keindahan; wajah rembulan dan wajahmu.
Entah mengapa kurasakan gejolak hati ini.
Aku pun tidak tahu sejak kapan adanya.
Hati tidak bisa berbohong.
Keterikatan di antara kita sudah lama.
Bagiku kau adalah separuh ragaku.
Tak akan mungkin raga ini terpisahkan.
Raka menutup sepasang mata kucing milik Anggia hingga Si Pemilik Mata berusaha melepaskan tangan Raka.
“Duh, Kakaaak … apa-apaan, sih?” Anggia menjerit. Rambut kucir kudanya bergoyang-goyang mengikuti gerakan goyangan kepalanya.
“Ngapain malam-malam ngelamun ngeliatin langit?” wajah Raka begitu dekat dengan wajah Anggia, menerbitkan rona merah di kedua pipi gadis tujuh belas tahun itu. Bagi Anggia, kakaknya adalah laki-laki tertampan di dunia. Memiliki wajah yang mirip-mirip tipis dengan wajah aktor Korea, Kim Bum. Tidak heran, gadis-gadis di sekolah mereka, sibuk mencari perhatian Raka. Sayangnya, Raka tidak mau menjalin cinta dengan satu pun di antara mereka. Hidupnya sudah cukup bersama Anggia, adik kembarnya yang cantik dan lembut. Satu lagi: pintar!
“Siapa bilang aku lagi ngeliatin langit? Aku lagi belajar, kok .…” Anggia menunjukkan buku TOEFL yang sedari tadi ada di tangannya.
Raka termangu melihatnya.
“Oh … lo serius ,ya, mau ikut program beasiswa itu?” Raka teringat pembicaraannya dengan Anggia, seminggu yang lalu.
“Iya, dong. Masa, main-main?” Anggia balik bertanya. Raka tidak berkedip memandang Anggia, hingga adiknya serbasalah. Meskipun mereka bersaudara, Anggia kerap merasa “jatuh cinta” kepada kakak kembarnya itu. Ya, kembar karena mereka lahir pada hari, tanggal, dan tahun yang sama. Kata Bunda, mereka bukan kembar identik, makanya wajah keduanya tidak mirip.
Raka tertawa, menampakkan lesung pipit di pipi kanannya. Sekilas mirip Afgan, tapi lebih banyak mirip Kim Bum. Anggia jadi semakin serbasalah menghadapi senyum Raka yang telah mematahkan hati banyak gadis di sekolah mereka.
“Kalau lo ke Australia, berarti kita bakal berpisah, dong,” kata Raka.