Broken Angel

Liliyanti
Chapter #3

Puzzle yang tersusun

Aku selama ini menjalani hidupku dengan fleksibel, selalu menjaga agar tidak keluar dari koridor, bahkan hanya menerapkan standard hidup yang normal ( Tidak tinggi-tinggi amat sampai aku harus susah payah mendaki untuk mewujudkannya). Lulus kuliah kemudian mendapatkan pekerjaan dan hidup mandiri. Seharusnya sih selanjutnya aku sudah mempunyai calon yang akan menikahiku dalam waktu hmmm mungkin 2 tahun lagi, tapi kalau dalam kenyataannya aku masih single ( Aku happy koq), kurasa hidupku masih dalam kategori normal.

Sampai malam ini, ketika kurasakan kerasnya dinding bangunan yang menekan punggungku, menembus jaket tipis dan jumpsuit biru mudaku. Jari-jari yang terbungkus sarung tangan kulit itu mencengkeram leherku kuat. Aku ingat adegan seperti ini ada di film yang pernah aku tonton bersama mantanku duluuuu ( Kan?bukannya aku tidak bisa menarik perhatian para pria, tapi mungkin aku belum ditakdirkan berjumpa dengan belahan jiwaku yang entah akan bisa kujumpai lagi ga). Saat itu aku sampai menahan nafas, seolah-olah kalau aku bernafas kuat, leher wanita di film itu akan patah. Tidak pernah kubayangkan, bahkan dalam mimpi pun tidak kejadian seperti di film akan terjadi pada diriku saat ini.

" Ya Tuhannn,sakit sekaliiii,aku susah sekali bernafas,lepaskan akuu!!" Sayangnya semua kalimat itu hanya mengaung di dalam kepalaku, kenyataannya aku terlalu takut dan sakit untuk mengeluarkan suara, hanya erangan kecil yang tidak jelas keluar dari kerongkonganku yang dicengkeram erat. "Eeee-aaaarrgg." Kurasakan satu sentakan di lenganku, sling bag-kado ulang tahunku tahun lalu dari Liz dan teman-teman kantor itu terlepas.

"Antingnya juga,cepat!!!" Suara berat dari pria yang masih mencengkeram erat leherku terdengar memerintah temannya. Keduanya memakai tudung hoodie warna hitam, masker hitam juga menutupi separuh muka, sehingga aku tidak tidak bisa melihat jelas wajah mereka. Telingaku sakit sekali ketika anting butterfly-ku ditarik paksa.

Rasa sakit di telinga dan leherku, serta nafasku yang megap-megap kehabisan nafas menyadarkanku bahwa ini semua nyata dan bukan mimpi. Sekujur tubuhku gemetaran, kurasakan airmataku jatuh bercucuran. Secara otomatis tubuhku meronta, tanganku berusaha melepaskan cengkeraman di leherku.

"Diam kamu!Jangan berontak!" Bentak pria itu sambil mengeratkan cengkeramannya, sementara temannya berusaha melepaskan jam tangan rosegold-ku. Aku tidak peduli dengan sling bagku, anting butterfly-ku ataupun jam tanganku, yang kupikirkan sekarang adalah mum. Aku satu-satunya putri mum, harapan hidupnya. Aku juga belum bisa bikin mum bangga, belum cukup membahagiakannya dan aku bahkan belum pernah menonton konser Ed Sheeran. Film yang kutunggu Black Widow juga belum launching.

"Ohh ini sungguh tidak adil,aku tidak punya banyak harta yang bisa mereka ambil! Kenapa aku ga terima tawaran Jess aza tadi?Kenapa aku harus melamun hingga ga perhatiin jalan?Aku belum mau matiiiiiii. Seseorang tolong a-a-a,"

Aku tidak bisa bernafas, pandanganku gelap, tubuhku serasa tidak bertulang. Tengkuk,kaki dan tanganku terasa dingin, kurasakan aku seperti melayang, kabut menyelimuti penglihatanku. Aku tidak tau aku berada di mana, tubuhku terasa ringan melayang ke sana sini. Rasa sakit,rasa sesak,ketakutanku semua hilang tak terasa lagi. Dengan ngeri aku berfikir apakah aku benar-benar sudah meninggal? Jadi sekarang aku sedang menuju dunia kematian? Dari buku yang pernah kubaca sudah lama sekali, inilah saatnya aku akan diadili, apakah aku akan digantung di atas api atau aku akan direbus di kuali raksasa. Hiyyyyy.

"Eh tapi itu kan hukuman untuk pembunuh,pencuri dan orang jahat. Aku kejahatanku hanya mengarang berbagai alasan pada Christina-manajerku kalo aku telat sampai kantor, ato berbohong pada mum kalo aku makan enak dan sehat 3 kali sehari padahal aku beli mie instan dan junk food yang murah tapi bikin kenyang (Dengan gaji staff, aku harus berhemat kalo ga mau jadi gelandangan).

Aku berusaha tidak mengingat isi buku itu yang menjelaskan hukuman untuk pembohong. "Iiiii kenapa sih dulu aku baca buku begituan.Ya Tuhan aku harus kemana ini?" Aku memicingkan mataku berusaha melihat dalam kabut. Sepi sekali, kemana orang-orang ya? Atau harus kubilang kemana roh-roh lain? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku menyingkirkan pikiran tentang hidup,mati,manusia atau roh aku ini.

Terdengar suara dari jauh, aku langsung bersemangat dan berusaha mencari arah dari mana sumber suara itu. Suara itu terdengar semakin keras menandakan aku sudah menuju arah yang benar, kabut juga semakin menipis. Aku terus melangkah, semakin dekat aku menyadari itu suara tangisan. Seorang wanita sedang menangis sedih dan putus asa. Aku semakin cepat mengayunkan langkahku, entah siapa itu dan apa yang ditangisinya. Semua rasa takutku sudah hilang digantikan dengan rasa ingin tau.

Aku berada di rumah sakit, tapi aku tidak mengenali rumah sakit mana ini. Dokter,suster dan pembesuk lalu lalang, tapi tidak ada yang memperhatikan aku. Aku bergegas menuju arah suara tangisan wanita tadi. Aku memantapkan hatiku dan membuka pintu kamar IGD, berharap tidak ada suster atau petugas yang bertanya tujuanku masuk ke sana. Suara itu terdengar histeris sekarang, aku setengah berlari menuju tempat tidur di ujung di pojokan ruangan.

"Bukaaaa matamu sayangku,ayoooo sadarlah dan perlihatkan senyummu lagi.My baby,mum dan dad ada di sini siap membawamu pulang,kumohon sadarlahhhh.Dok tolonglah anakku dok,aku mohonnnn." Wanita itu setengah menarik jas putih seorang dokter yang wajahnya tampak tegang.

Seorang pria tampak berusaha menenangkan wanita itu, memeluknya dan melepaskan cengkeraman tangan wanita itu dari jas putih dokter tersebut. Masih menangis wanita itu kemudian menggenggam jari mungil putri kecilnya yang terbaring di atas tempat tidur. Selang infus tampak tertancap di tangan kecilnya. Seorang suster sedang menyuntikkan cairan obat ke kantong infus.

"Maafkan istri saya dok,dia sedang panik karna kondisi anak kami yang mendadak kejang dan tidak sadar. Apa yang terjadi dengan anak kami dok?" Walaupun ada nada panik dalam suaranya, tapi pria itu mampu mengontrol dirinya agar tenang.

"Hasil darahnya akan keluar besok pagi,saya baru bisa memastikan apa ada virus dalam darahnya.Sekarang kita menunggu kondisinya stabil dulu baru akan dipindahkan ke ruang Picu," Dokter Jefferson (Itu nama yang tertera di name-tagnya) mencatat sesuatu di papannya dan menyerahkan ke suster yang berdiri di sebelahnya.

Aku tidak bisa melangkah mendekat, mereka seperti berada di dimensi lain, di rumah sakit yang sama tapi di waktu lain. Ketika dokter dan suster berjalan melewatiku mereka bahkan tidak menoleh ke arahku, mereka seolah tidak menyadari kehadiranku dari tadi. Dan aku segera menyadari bahwa aku tidak kasat mata. Aku telah tersesat ke dimensi lain, kabut pekat itu seolah gerbang untuk menuju dimensi lain. Aku ingin melihat wajah suami istri dan bayi mereka, aku ingin tau apakah aku mengenali mereka, tapi aku tidak bisa melangkah mendekat.

Ketika istrinya keliatan sudah tenang, sang suami kemudian berpamitan hendak pergi membeli makan siang. Jantungku berdegub kencang ketika pria itu membalikkan tubuhnya dan tepat ketika aku sudah hampir melihat wajahnya, kabut pekat itu datang lagi, menyeret tubuhku menjauh dari tempat itu.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku ketika kabut makin menipis, menyadari aku sudah tidak lagi berada di rumah sakit. Aku berdiri di bawah pohon jambu yang daunnya jatuh berguguran, menandakan musim gugur sudah tiba. Sekelilingku tampak asri dengan rumah kiri kanan berhalaman dan jalanan yang dipenuhi daun warna coklat orange yang jatuh berguguran.

"Kota yang cantik dan tenang,tapi di manakah aku berada?apa yang harus kulakukan?a-," Pikiranku terpotong oleh jeritan seseorang. Aku menoleh, dan terlihat olehku seorang anak perempuan kecil berlari dan di belakangnya ada seorang pria yang menggendong seorang anak perempuan yang sekujur tubuhnya basah kuyup.

Pintu-pintu rumah pun terbuka, orang-orang berlarian ke arah pria yang menggendong anak yang basah kuyup. Anak perempuan itu menangis sambil sesekali batuk, air masih muncrat keluar dari mulutnya. Pintu rumah bercat putih tepat di sebelah rumah di mana aku berdiri terbuka, seorang wanita lari keluar dari rumah bercat putih itu. Dengan panik dia meraih dan memeluk anak perempuan yang basah kuyup itu. Anak perempuan yang berlari sambil menjerit tadi bergegas menghampirinya dan wanita itu pun memeluknya juga.

Aku berdiri membeku, aku hendak berlari menghampiri mereka semua, tapi kakiku tidak bisa melangkah selangkahpun dari bawah pohon jambu. Kurasa aku sudah tau di mana aku dan siapa mereka semua, hanya aza otakku tidak bisa mencerna kejadian ini. Rasanya kejadian ini tidak mungkin terjadi, apakah aku sedang bermimpi? Apa-

Lihat selengkapnya