Detektif Kenneth memperhatikan catatan yang disodorkan oleh rekannya, seorang polisi yang masih muda. Detektif Susan telah pergi ke butik " Top-One" untuk melakukan interogasi terhadap rekan kerja Jess.
" Ehm, sebelumnya saya ingin berterimakasih atas kerjasama yang baik saat pemeriksaan tadi, kami akan bekerja keras mengolah informasi yang kami terima untuk bisa menyelesaikan kasus ini dengan sebaiknya." kata detektif Kenneth dengan wajah serius.
" Otopsi sudah selesai dilakukan, hasilnya mungkin dalam beberapa hari lagi akan keluar. Jadi seperti yang diinginkan nyonya Nelly, kami akan segera mengurus-maaf- jenazah miss Jessica, mengantarnya ke rumah duka siang ini untuk dilakukan kremasi di keesokan harinya." lanjut detektif itu sambil memperbaiki letak kacamatanya.
Bibi Nelly memutuskan Jess akan dikremasi, agar bisa membawa abu Jess untuk ditaburkan ke laut kesukaan Jess saat kecil, laut yang sering dikunjunginya bersama orangtuanya ketika keluarga mereka masih lengkap.
Aku teringat akan ayahku, mum mengatakan bahwa dad di kremasi dan di taburkan di laut tempat ayah di besarkan. Dan sekarang Jess juga, aku kehilangan 2 orang yang kukasihi dalam hidupku, tapi aku bahkan tidak mempunyai makam untuk kukunjungi saat aku rindu pada mereka.
Tapi aku menghormati keputusan bibi Nelly, aku juga yakin Jess pasti selalu ingin kembali ke saat itu, saat paling bahagia dalam hidup seorang anak-- jalan-jalan keluarga. Perih hatiku menyadari aku tidak pernah merasakan jalan-jalan keluarga. Aku memutuskan ketika mengunjungi grandma lagi, akan meminta mum mengantarku ke laut tempat abu dad ditabur.
" Apartemen miss Jessica masih kami tandai, karna nantinya akan dijadikan tempat rekontruksi. Barang milik miss Jessica yang ada ditangan kami adalah sebuah telepon selular, buku notes, dan laptop untuk kepentingan penyelidikan. Barang pribadi lain masih tetap di apartemennya." terang detektif itu sambil menunjukkan selembar form kepada bibi Nelly.
" Andrew masih di dalam tahanan, dan dia sudah menyewa pengacara. Dia masih dalam pemeriksaan sehingga statusnya masih saksi, kami akan memakai alat lie detector juga kepadanya." jelas detektif Kenneth dengan cepat begitu melihat ekspresi bibi Nelly.
Terdengar suara ketukan pintu, seorang petugas masuk dan menyampaikan bahwa jenazah Jess sudah di antar ambulans rumah sakit ke rumah duka. Detektif Kenneth langsung menyudahi penjelasannya.
" Nyonya Nelly, saya pastikan kami akan segera melengkapi berkas perkara agar bisa segera di serahkan kepada pihak penuntut umum." suara detektif itu terdengar yakin.
Bibi Nelly sibuk menerima telpon-telpon duka cita dari keluarga dan teman-teman Jess dulu. Rekan kerja Jess datang melayat di sore hari, bahkan klien Jess ada yang menyempatkan hadir. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah saat ini Jess sedang melihat bahwa dia sesungguhnya di kelilingi orang-orang yang menyayanginya.
Bibi Nelly cukup terhibur dengan telpon dan kedatangan mereka semua, biarpun sesekali masih menangis tapi dia sudah tidak histeris lagi. Aku memandang foto Jess yang diletakkan di atas meja di depan peti jenazahnya. Foto Jess yang memakai blazer coklat dengan rambut terurai. Dia tersenyum lebar di foto itu, begitu bahagia dengan masa depan yang menjanjikan.
Bunga-bunga indah memenuhi meja kecil itu, sehingga Jess seolah-olah sedang berada di kebun bunga. Tiba-tiba aku mendengar suara orang yang menyuruhku menabur bunga. Tapi ditabur di mana? di atas peti jenazahkah? pikirku dalam hati. Aku menoleh ke arah petugas rumah duka itu, hendak bertanya kepadanya dan aku tersentak.
Orang-orang menabur bunga di atas timbunan tanah, belum ada nisan di atas gundukan tanah itu. Ada belasan orang di pemakaman itu, mereka berbicara dengan suara pelan. Tapi tidak ada suara tangis sama sekali, hanya wajah-wajah muram dan datar.
Wajah wanita berbaju hitam itu langsung kukenali, mata tajam dan rahang tegas itu. Grandma di usia 20-an masih begitu muda. Di sebelahnya berdiri seorang pria bertubuh tegap dan memakai topi, wajah teduhnya tampak murung, grandpa juga masih sangat muda.
Aku menoleh ke kiri-kanan berharap melihat ada anak kecil, tapi tidak kelihatan ada anak kecil di situ. Jadi mungkin dad belum lahir pikirku, lalu aku melihat wanita mengerikan itu lagi. Tapi kali ini tidak memakai jepitan topi hitamnya, dia berdiri sambil menabur bunga. Seorang pria membisikkan sesuatu kepadanya, dia lalu berjalan ke arah grandma.
Jantungku berdebar kencang, selain takut kalau wanita itu akan berteriak mengutuki-ku lagi, aku juga menyadari bahwa aku sedang berada di pemakaman buyutku. Jadi pria satunya itu pasti adik grandpa, wanita mengerikan itu mungkin istrinya.
Di sebelah gundukan tanah yang masih basah itu, ada kuburan yang ber-nisan bentuk kotak dengan patung malaikat di kiri-kanan. Itu pasti makam kakek buyutku. Berdiri di situ aku teringat kembali kuburan yang kulihat di mimpiku saat berada di rumah grandma.
Kuburan-kuburan dengan bentuk nisan dan patung malaikat yang sama, jadi aku sekarang ada di tempat pemakaman itu. Aku menoleh mencari gerbangnya tapi sepertinya belum dibangun saat ini. Seingatku ada 7 kuburan yang kulihat malam itu sebelum aku dihentikan oleh suara yang ku yakin itu suara ayahku.
Sekarang baru 2, aku bergidik membayangkan akan ada 5 pemakaman lagi. Aku merasa kakiku digigit nyamuk, aku menjulurkan tanganku untuk menepuk nyamuknya dan menjerit dengan suara melengking. Aku bahkan tidak bisa berpikir lagi apakah mereka semua bisa mendengar jeritanku.
Kuku-kuku hitam itu menghujam menembus kedua belah betisku, tangan-tangan muncul dari dalam tanah semakin banyak, semua berusaha menggapai kaki-ku. Aku melompat sambil menjerit ketakutan dan kesakitan.
" JENNIE, BANGUN!! BUKA MATAMU!!!!!!"
Aku bahkan merasakan sakit di pipiku, apakah tangan-tangan itu berhasil mencapai wajahku? Sebuah tamparan keras memaksaku membuka mataku. Wajah pucat mum dan petugas rumah duka membelalak menatapku. Bibi Nelly berdiri di belakang mereka sambil menutup mulutnya dengan wajah sepucat mum.
" Ya Tuhannn Jen, apa yang terjadi? kamu tiba-tiba jatuh dan menjerit-jerit ketakutan." Mum menuntunku bangun dan mendudukkanku ke kursi.
" Aku akan membuatkan air gula, terkadang di sini memang banyak yang seperti nona ini. Aura rumah duka bagi sebagian orang memang membawa pengaruh buruk." kata petugas itu sambil mengerutkan kening.
Aku menyandarkan tubuhku dengan napas masih tersengal-sengal. Sakit di betisku bahkan masih terasa, tapi aku tidak berani membuka jeansku untuk memeriksa. Mum dan bibi Nelly menatapku khawatir.
Air gula memang membantu, napasku sudah teratur sekarang dan kesadaranku berangsur pulih. Bibi Nelly mengusap keringat di dahiku dengan tissue, mum sedang berbicara dengan petugas tua tadi. Aku merasa malu sekarang, mereka pasti menganggapku sangat lemah sehingga bertingkah seperti orang kerasukan di rumah duka.
" Jen, apakah sudah sadar sepenuhnya? baik-baik aza?" suara bibi Nelly masih terdengar kalut.