Aku terduduk di bangku terminal bus. Tubuhku masih gemetaran dan shock berat. Seorang pria yang duduk di situ memandangku heran, mengingat matahari masih begitu panas tapi aku malah kedinginan.
Bus nomor 14 tiba, orang-orang mulai naik tapi kurasa aku tidak mampu naik bus ini lagi. Aku memutuskan memesan taxi walaupun mahal. Aku membuka aplikasi dan memesan taxi online. Selularku berbunyi dan "mum" muncul di layar, kurasa sekarang-lah saatnya.
" Jennnn oh Jennn, apakah kamu baik-baik aza sayang? mum rasanya bisa mati berdiri kalau terjadi apa-apa padamu." suara mum terdengar panik.
" Deborah telah menolongku mum, aku takut sekali tadi tapi sekarang sudah tidak apa-apa. Kurasa kita harus bicara mum." suaraku juga masih bergetar.
" Maafkan mum Jen, selama ini mum menyembunyikan banyak hal darimu, karna aku tidak ingin kamu dalam bahaya seperti tadi. Ohh Untunglah Deborah tiba tepat waktu." mum mulai menangis.
Aku juga rasanya ingin menangis, mentalku sangat terguncang, aku menyadari tadi itu aku dalam bahaya besar. Taxiku sudah hampir sampai terminal untuk menjemputku.
" Mum, aku akan ke rumah sakit menjenguk temanku dulu, Liz dan teman lain sudah menungguku di sana. Kurasa aku akan pergi ke rumah grandma mum, setelah memberi kesaksian dalam sidang Jess." kataku dengan mantap.
" Hati-hati Jen, kabari mum kalau sudah di rumah. Pulanglah Jen, kata Deborah di sini semua berasal, di sini juga semua akan di akhiri. Pulanglah, dan mum akan menceritakan semuanya padamu." kata mum masih terisak.
Taxi pesananku sudah tiba dan aku segera naik dan meluncur ke rumah sakit. Liz mengabariku bahwa dia menungguku di lobby, dan langsung menghampiriku begitu melihatku turun dari taxi.
" Maaf aku terlambat Liz, a-aku mau ke toilet sebentar ya." kataku buru-buru berlari ke arah toilet.
Aku memuntahkan semua isi perutku ke kloset toilet, dada dan tenggorokanku terasa perih. Wajah -wajah rusak yang kulihat di bus terbayang-bayang di kepalaku. Ada yang matanya hilang, hidungnya hanya tinggal lobang hingga sayatan di seluruh wajah.
Tubuh mereka yang sudah hancur oleh kematian, dan aku yang masih hidup dan sehat hampir ikut terseret menuju gerbang kematian. Kejadian di bus tadi sungguh mengguncangku. Tapi dengan adanya kejadian tadi, aku jadi bertemu Deborah, pengasuh ayahku dulu. Dan mum akhirnya bersedia membuka tabir rahasia yang di sembunyikannya selama ini.
Liz menungguku di luar toilet dengan wajah curiga, Aku mengatakan padanya dengan suara serak kalau akan menceritakan padanya setelah menjenguk Cyntia. Kami naik ke ruang perawatan di lantai 2.
Ada 2 orang petugas polisi yang berjaga di depan pintu ruang Cyntia di rawat. Teman-teman lain sudah di dalam, dan hanya ada sisa waktu 10 menit. Liz membuka pintu dan kami masuk. Teman-teman kami mengelilingi ranjang tempat Cyntia di rawat.
Kepala dan hidungnya di perban. Kedua matanya bengkak hingga susah di buka. Pipi dan bibirnya tampak menggembung besar, di lehernya tampak bekas cekikan berwarna ungu dan merah. Cyntia yang malang, betapa kesakitan dan ketakutan yang harus dilaluinya malam itu di mobil Jason.
Cyntia melambai kepada kami, dia tampak susah untuk berbicara, jadi dia menulis di sebuah kertas dan mengangkatnya.
Hai Liz & Jen, maaf kalian tidak jadi hangout di The Hitz tapi malah di rumah sakit.
Kami tertawa dan mengatakan bahwa sepertinya memang The Hitz belum siap untuk menerima kami. Jean lalu mengambil kue ultah di meja, Kevin menyalakan lilin 28 dan kami semua menyanyikan lagu happy birthday dengan penuh haru. Cyntia tampak sesenggukan, membayangkan bahwa dia bisa aza tidak bisa merayakan ultah ke 28-nya kalau tidak ada yg menolongnya semalam.
Setelah itu Cyntia mengucapkan doa dalam hati, lalu kami semua meniup lilin bersama-sama mewakili-nya yang susah menggerakkan mulutnya. Cyntia menulis di kertas dan mengangkatnya.
Terima kasih teman-teman, aku sangat bahagia dan bersyukur, walaupun harus merayakan dengan kondisi seperti ini. Ultah ini tidak akan terlupakan seumur hidupku.
Suster mengetuk pintu dan masuk, mengatakan sudah waktunya pasien minum obat dan istirahat. Kami lalu mengucapkan selamat tinggal kepada Cyntia dan mendoakannya segera pulih kembali.
Maafkan aku membuat kalian semua repot, tapi aku akan bertanggungjawab, aku akan resign.
" Sekarang fokus pulihkan kondisimu dulu Cyn, urusan kerjaan nanti baru dipikirkan aza, tapi kurasa Archie akan punya pertimbangan sendiri." kata Jean.
Kami semua sependapat dengan Jean, yang terpenting sekarang pulih dan membereskan urusan hukum dengan Jason. Aku dan Liz makan malam di restoran korea yang tidak jauh dari rumah sakit. Lumayan ramai restonya karna hari Minggu. Kami menunggu selama 15 menit sebelun di antarkan ke meja pojok.
Aku memesan mie ramen dan Liz bulgogi. Aku memandang orang-orang yang menikmati makan malam bersama keluarga, sahabat dan pasangannya tanpa beban. Sementara aku hanya makan untuk mengisi perut tanpa bisa menikmati, hidupku menjadi sangat rumit.
" Ada apa Jen? Aku merasa ada yang aneh denganmu sejak tadi." tanya Liz dengan pandangan menyelidik.
Aku kemudian menceritakan kepada Liz tentang kejadian di bus dan Deborah. Tentang kekhawatiran dan ketakutanku bahwa di kemudian hari aku mungkin tidak akan berhasil lolos seperti tadi.
" Ya ampunnn Jen, kamu pasti sangat terguncang. Harus menanggung sesuatu yang tidak kita ketahui penyebabnya sungguh sangat berat. Kalau Deborah berhasil menyelamatkanmu dulu dan tadi, aku yakin dia pasti akan berhasil lagi." kata Liz sambil meletakkan garpunya, selera makannya sudah hilang.
" Aku berharap bisa berakhir untuk selamanya Liz, jangan nanti berapa lama kemudian tangan kegelapan itu datang lagi. A-aku ingin punya anak kelak Liz, tapi kalau karna mewarisi darahku dia akan hidup dalam bahaya, maka aku memilih tidak." ujarku dengan murung.
" Benar Jen, ini harus segera diakhiri. Setelah kesaksianmu besok, pergilah ke tempat nenekmu. Urusan Health Farma kan semuanya sudah kita beresin kemarin, masalah yang sekarang muncul bukan lagi tanggungjawab kita." ucap Liz.