Hampir seminggu berlalu sejak e-mail itu kuterima, e-mail berisi foto korban dan tempat kejadian perkara. Aku tidak benar-benar menyanggupi permintaan Benji hari itu, tapi dia tetap berjanji akan memberitahuku jika ada perkembangan terkait kasus ini. Entahlah, semua hal tentang pembunuhan berantai ini rasanya belum bisa benar-benar kuterima sebagai kenyataan. Semua ini masih kurasakan seperti mimpi aneh di malam sebelum ujian kenaikan kelas.
Dan ngomonng-ngomong soal ujian..
“Juno, file rangkuman materi kemarin sudah kukirim. Tolong pelajari untuk tes 2 hari lagi..”
Weena benar-benar tahu bagaimana membuatku kerasan dengan kenyataan ini.
“Thank you.. kamu membantu sekali.”
“Apa itu sarkasme?”
“Apa aku terlihat seperti perlu bantuan untuk tes besok?”
“Tesnya hari Senin.. Kamu dengerin aku ga sih dari tadi?”
Yah, hubunganku dan Weena makin memburuk sejak hari itu. Ini tidak seperti kami sedang berkelahi atau saling marah satu sama lain. Oke, mungkin juga iya.. karena dia memang lebih marah sekarang. Tapi kurasa masalahnya jauh lebih besar dari itu. Aku sudah mengenal gadis ini sangat lama, bahkan jika aku mengingat masa kecilku saat ini, sangat sulit untuk membayangkannya tanpa adanya Weena disitu. Ya, intinya kami sudah kenal cukup lama untuk tahu baik dan buruk masing-masing.
Dan permasalahannya, jika selama ini aku dan dia ada masalah dan kami berkelahi, tetap ada komunikasi yang malah membuat kami semakin dekat. Entah itu dengan saling memaki atau saling membuka aib satu sama lain. Pokoknya perkelahian yang membuat kami semakin dekat, bukan malah semakin jauh seperti ini.
Jam istirahat sebentar lagi selesai. Kami masih di tempat rahasia kami, menghabiskan waktu berdua dengan seminimal mungkin percakapan. Entahlah, dengan setiap kata yang malah membuat kami makin menjauh seperti ini, kupikir diam adalah pilihan yang terbaik.
Sebenarnya ada satu hal yang masih mengganjal pikiranku dan sangat ingin kubahas dengan Weena saat ini. Ya, dari foto yang kudapat, di tkp tempat ditemukannya mayat wanita misterius itu ada disitu. Bukan seperti orang yang kebetulan lewat atau kebetulan ada di tempat dan waktu yang salah, dia benar-benar sengaja ada disitu, atau lebih tepatnya ada di foto itu. Mungkin ini terdengar aneh, tapi aku yakin dia benar-benar sengaja terfoto disitu. Ya, walau agak kabur aku yakin sekali dia sadar ada kamera yang sedang mengambil gambarnya, dan mata itu, mata itu tanpa ragu melihat langsung ke kamera. Melihat langsung padaku.
Apa yang kupikirkan? Itu jelas-jelas tidak mungkin. Apa yang untungnya bagi wanita itu melakukan tindakan provokatif semacam itu? Apa karena..? Tidak, tidak mungkin.. kasus ini tak ada sangkut pautnya denganku, ini pasti cuma perasaanku saja.
Di depan kelas Weena berpapasan dengan Alice, seperti sewajarnya. Mereka pun saling menunjukan ketidakcocokannya satu sama lain, seperti sewajarnya. Weena dengan kalimat pendek nan sinis, dan Alice dengan kalimat ringan yang tak tahu diri. Entah mengapa hal seperti ini sudah menjadi keseharianku sejak sejak seminggu terakhir. Walau rasanya salah jika membiarkan semuanya terus seperti ini, aku tak tahu bagaimana cara untuk memperbaiki keadaan ini. Dan walau pun aku tanyakan soal ini pada Weena apakah jawaban yang kudapat akan memperbaiki keadaan? Atau malah menambah jarak diantara kami? Aku tidak bisa mengambil resiko lebih jauh.
Setidaknya semua hal selain masalah tadi masih berjalan seperti biasanya. Kelas dan pelajarannya sama sekali tak berubah. Obrolan teman-temanku di grup chat juga tidak banyak berubah, mereka masih meributkan hal yang itu-itu saja. Di balik sikapnya yang menjadi dingin padaku dia masih seperti Weena yang biasanya di depan teman-temannya. Kuharap semuanya memang baik-baik saja.
Dari semua orang di muka bumi ini, diriku sendiri lah yang paling tahu kalau harapan itu hanya kebohongan yang bersembunyi dibalik optimisme semu yang tidak realistis.
Jam sekolah berakhir. Alice seperti biasa menungguku keluar kelas, dan jika itu terjadi Weena akan mundur dengan alasan akan pulang dengan teman-temannya setelah menyelesaikan absensi atau piket. Alibi sempurna untuk menutupi hubungan kami yang semakin menjauh.
Perjalanan pulangku kini diwarnai pertanyaan-pertanyaan pancingan Alice mengenai kasus pembunuhan berantai ini. Jujur saja aku sangat lelah menanggapinya. Tapi di sisi lain ini sedikit meringankan beban pikiranku terkait kasus ini. Aku bisa menceritakan teori-teoriku berkaitan dengan kasus ini padanya dengan leluasa, tentang wanita misterius itu, dan tentang foto-foto yang dikirimkan Benji. Dari situ aku menjadi semakin dekat dengan gadis ini. Cewek aneh yang membahas kasus pembunuhan seperti membahas gosip terbaru di kalangan para gadis.
Seperti itulah hariku berlalu. Diawali dengan komunikasi yang semakin menjauh antara aku dan Weena, dan ditutup dengan obrolan ringan berbau pembunuhan dengan Alice. Bagiku dunia tidak sama lagi sejak adanya kasus ini. Apa aku masih bisa yakin kalau kasus ini memang benar-benar tidak ada hubungannya denganku?
Pertanyaan itu terus kutanyakan pada diriku sendiri, di kamarku menghadap meja belajarku, hanyut dalam kontemplasi yang semakin suram dan dingin. Sampai akhirnya tertidur beberapa jam sebelum jam wekerku berbunyi.
…
Siang ini aku tidak pergi ke tempat biasanya dengan Weena. Aku merasa kami berdua masing-masing butuh waktu untuk sendiri. Hal yang paling tak kuinginkan saat ini adalah menyakitinya dan membuat hubungan kami semakin jauh di level yang tak bisa kuperbaiki lagi.
Aku makan siang di taman dekat kantin, dengan roti isi favoritku dan sekaleng kopi hitam. Ada tempat di bawah pohon dimana aku bisa duduk sendirian tanpa diganggu siapa pun, tempat yang bisa dilihat dari gerbang utama. Yah, kupikir untuk sementara aku lebih baik mengambil jarak dari semuanya. Kalau pun aku makan siang di kelas, aku tak tahu harus menjawab apa jika Benji menanyaiku tentang perkembangan kasus ini. Faktanya aku belum melakukan apa pun untuk menyelidikinya. Belum lagi jika Alice seenaknya masuk ke kelas dan membuat suasananya semakin tidak nyaman dengan tatapan curiga dari teman-teman di kelasku. Tatapan yang anehnya, seperti tak berpengaruh apa pun pada gadis itu.
“Permisi..”
Aku bisa mendengar suara itu dimaksudkan pada seseorang, yang tentu saja bukan aku. Dengan mengambil tempat terpencil yang jelas-jelas mengisyaratkan jangan ganggu ini, mana mungkin ada orang yang sudi mendekatiku.
“Permisi.. Dik?”
Suara itu tak juga pergi, pertanda dia belum mendapatkan respon yang diharapkan. Dan pundakku ditepuknya.