“CEPAT BANGUN PEMALAS!! LIHAT SUDAH JAM BERAPA SEKARANG!!!”
Samar-samar kudengar suara itu dalam mimpiku. Ah, jam alarm sialan itu. Aku cukup sadar untuk mengetahui kalau sekarang adalah hari Minggu, biarkan aku tidur sebentar lagi!
…
Tentu saja alarm sialan itu tak membiarkanku tidur lebih lama, bahkan untuk sepuluh menit lagi. Suaranya sudah terlalu mengganggu, dan kalau pun aku bisa kembali tidur tanpa mematikan alarm itu, aku yakin selanjunya aku pasti akan bermimpi buruk. Aku tak bisa tidur nyenyak dengan suara mengerikan itu di sekitarku.
Saat mengumpulkan pakaian untuk dicuci aku sadar gelang ini masih menempel di lenganku. Aku lupa meminta Alice melepasnya kemarin. Bagus sekali, Juno. Tapi mungkin ini pun bisa kuabaikan. Ada hal yang lebih penting yang harus kupusingkan dari pada gelang sialan ini. Argh! Aku bangun dengan mood yang jelek sekali.
Cucian sudah kumasukan ke mesin cuci, dari suaranya masih butuh waktu setengah jam lagi sebelum selesai dan bisa kujemur. Hari ini cerah, ya, seminggu ini memang tidak turun hujan. Aku semakin percaya kalau di negeri ini cuma ada satu musim – pancaroba. Kalau cucianku kujemur di cuaca seperti ini, sebelum sore pasti sudah kering. Aku tak perlu repot dengan masalah pakaian belum kering minggu selanjutnya. Dan kenapa aku harus repot dengan masalah pakaian belum kering saat aku punya masalah yang harus kupecahkan disini!? Baiklah Juno, fokus!
Christian Adrew, siswa Vandour 13 kelas 3. Sempat pindah sekolah dari Vandour 8 di kelas 2, alasannya karena masalah keluarga. Nampaknya dulu dia seorang siswa berada, tapi sejak perceraian orang tuanya dan karena keinginan egois dari pihak ibu dia terpaksa pindah ke sekolah yang lebih terjangkau secara ekonomi. Walau memiliki latar belakang keluarga yang berantakan dia tetap bisa mempertahankan prestasi belajarnya. Bahkan dia yang tidak pernah masuk peringkat atas di sekolah asalnya bisa mendapat peringkat teratas di sekolah barunya. Catatan guru-guru dan wali kelasnya mengatakan dia siswa baik tanpa ada satu pun catatan kenakalan, hanya saja cenderung menutup diri dan sulit berteman.
Hooo… tipe yang melampiaskan semua kekesalannya pada pelajaran dan nilai akademik ya. Wajar kalau yang seperti ini tak punya teman.
Semua laporan penyelidikan Alice sudah ku-print dan sekarang bisa dengan leluasa kubawa kemana pun. Walau begitu jumlahnya sangat banyak dan berakhir menjadi lembaran yang tebalnya hampir setengah dari buku persiapan ujian nasional. Sampai sekarang aku masih belum percaya Alice bisa mengumpulkan semua ini dalam waktu kurang dari seminggu, bahkan catatan latar belakang serta keseharian ini terkesan sangat akurat. Harus kuakui dia memang hebat walau penampilan dan kelakuannya seperti itu.
Eddie Lim, rasanya aku tahu soal orang satu ini. Dia pernah menjadi perwakilan olimpiade matematika regional Vandour. Kalau tidak salah aku pernah bertemu dengannya sekali disana. Yah, pengalaman yang tidak menyenangkan. Orang dingin bermuka tembok yang tak menunjukan emosinya bahkan walau sudah menyisihkan Weena di babak awal. Sisa hari itu yang kuingat hanya berusaha menyemangatinya yang terpuruk setelah gagal mewakili sekolah kami. Dan dia terus mencubiti lenganku sambil merengek “Kenapa gak kamu aja sih yang kepilih~?” Yah, pengalaman yang tidak menyenangkan.
Salah satu siswa unggulan dari Vandour 49, itu kalau tidak salah sekolah paling ketat di kota ini. Banyak lulusan dari sekolah itu yang berakhir meneruskan pendidikan militer atau kepolisian. Sekarang rasanya aku bisa mengerti sikap dinginnya waktu itu. Tidak punya cacat secara akademis dan catatan kesiswaan menyatakan sangat baik. Hanya saja sempat diketahui memelihara kucing liar di kamar asramanya, walau melanggar peraturan, karena catatan baiknya selama ini hal tersebut tidak menjadi cacat dalam catatan akademisnya. Malahan ditulis sebagai “penyayang binatang.”
Si muka tembok itu ternyata punya sisi imut ya.
Membaca catatan ini membuatku semakin menyayangkan peristiwa ini. Mereka semua orang-orang baik dengan masalah pribadinya masing-masing. Rasanya aku semakin tak bisa terima dengan semua ini, mereka tak seharusnya berakhir seperti ini. Mereka tetaplah manusia dengan semua permasalahannya, tak seharusnya berakhir mati sebagai korban pembunuhan berantai. Kalimat itu terus kuulang sambil menatap kosong ke lembaran kertas itu. Aku tak ingin meneruskannya lagi, ini terlalu berat bagiku.
Kupikir kembali berbaring di tempat tidurku setelah membereskan semua pekerjaan rumahku bisa membuatku kembali tertidur. Wajahku tertutup kertas-kertas itu, aku terlalu malas untuk merapihkannya dan hanya mengandalkan clip untuk menjaganya agar tidak berantakan. Kuharap aku bisa tidur dalam keadaan seperti ini.
Tapi tentu saja hal itu tidak terjadi. Perutku meraung minta diisi. Matahari sudah tinggi dan kuingat perut ini hanya diisi beberapa lembar roti dan secangkir kopi sejak pagi. Mungkin jalan-jalan keluar sambil mencari makan di warung dekat sini bisa membantuku berpikir. Dengan hanya mengenakan celana pendek dan beberapa lembar uang juga smartphone disakunya aku meninggalkan rumahku.
Tak jauh dari rumahku ada sebuah warung mie, aku hampir selalu makan disini jika hari libur seperti ini. Dan karena memang sudah lama menjadi langganan disini aku tak bisa berkomentar banyak tentang makanan yang ditawarkannya selain dengan kata terbiasa. Yah, aku sudah terbiasa dengan makanan di warung ini.
Lembaran tertempel klip itu masih kubawa, terpikir aku bisa membuangnya kapan pun aku puas membacanya. Sambil mengantri pesanan aku juga bisa sedikit membacanya. Masih ada profil yang belum kubaca semenjak meninggalkan rumahku, walau begitu aku masih sempat membaca beberapa halaman di perjalanan, beberapa halaman lagi saat menunggu pesanan. Dan sekarang beberapa halaman lagi ditemani mie ayam dihadapanku. Ada beberapa tetes kuah mie menodai lembaran kertas itu, tepat di halaman yang membahas seorang siswa bernama Mario Tanoe. Orang satu ini memiliki catatan sejarah yang cukup rumit, aku menghabiskan agak lebih banyak waktu membacanya. Walau begitu aku bisa bilang kalau orang ini pun menarik, sayang hidupnya harus berakhir tragis.
Sempat terpikir untuk langsung pulang setelah selesai dengan urusan mengisi perut, tapi sepertinya aku perlu ke minimarket untuk membeli bahan makanan. Sekarang mungkin perutku kenyang, tapi beberapa jam kemudian dia akan kembali menuntut untuk diisi. Ya, selalu berpikir beberapa langkah ke depan.