“Apa nona ada kaitannya dengan pembunuhan yang terjadi sebulan lalu di taman ini?”
Aku mengumpulkan segenap keberanian dan akhirnya berhasil menanyakan pertanyaan yang selalu ingin kutanyakan pada wanita ini.
“Bagaimana ya..” wanita itu menutup bukunya, menatap jauh ke langit seolah sedang mencari jawabannya disana. “Kalau ditanya seperti itu, mungkin jawabannya iya..”
Bagus, baiklah pertanyaan selanjutnya!
“Kenapa nona terus mengikutiku sebulan terakhir ini?”
“Bukannya terbalik ya? Kamu kan, yang berusaha membuntutiku, bocah?”
Terus saja panggil aku bocah dan selanjutnya kau akan kupanggil nenek.
“Anda bukan pembunuhnya kan?”
Akhirnya wanita itu melihat ke arahku, tapi bukan dengan cara yang kuperkirakan sebelumnya. Dia tersenyum. Iya, dia tersenyum, seolah menahan tawa gemas. Bibir merah berlipstik itu menunjukan deretan gigi putih dibaliknya.
“Kau sungguh-sungguh berpikir aku pembunuhnya?”
Tentu saja tidak.
“…Rasanya pertanyaan itu tak perlu kujawab, kuserahkan jawabannya pada imajinasimu!”
Aku pun tertawa melihat dia yang tak bisa lagi menahan tawa. Ini membantuku mengurangi ketegangan menghadapi percakapan yang berbahaya ini. Biar bagaimana pun aku tak tahu banyak soal orang yang sedang berbicara denganku ini. Dengan memberi jawaban “…kuserahkan jawabannya pada imajinasimu!” dia membuatku terus bertanya-tanya. Dan semakin bertanya-tanya aku semakin sadar aku tak tahu apa pun soal wanita ini.
Tawa mulai reda, dan aku tak tahu harus bertanya apa lagi untuk mendapatkan informasi dari wanita ini. Biasanya saat berbicara dengan seseorang aku bisa mendapat informasi yang aku mau dengan menjadi pendengar yang baik, atau ya dengan pertanyaan pancingan seperti yang baru saja kutanyakan. Baru kali ini aku bertemu orang seperti ini.
Kulihat dia mulai relax, dia sudah tidak lagi menggenggam bukunya, sikap duduknya pun bukan lagi tegap saat dia membaca. Dia bersandar ke bangku taman.
“All that we see or seem. Is but a dream within a dream..” dia katakan sambil matanya memandang jauh ke langit, entah apa yang dicarinya. “Kau tahu?”
“Apa itu? Puisi?”
“A Dream within a Dream, Edgar Alan Poe..”
Yah, pantas saja rasanya aku pernah dengar.
“Tahukah kalian manusia, kalian selama ini hidup dalam mimpi. Semua yang kalian alami dan rasakan setiap harinya hanya akan menjadi ingatan samar-samar saat kalian bangun nanti, walau begitu kalian tetap hidup dan menjalani kehidupan seolah itulah kebenaran yang paling sejati..”
“Aku tak tahu itu kutipan dari mana..”
“Yang barusan itu bukan kutipan, itu yang kupikirkan soal kalian, manusia.”
Dari tadi wanita ini berbicara seolah dia bukan manusia, aku tak yakin harus bagaimana mengikuti arah pembicaraannya.
“Jadi.. nona ini bukan manusia, begitu?”
Dia kembali tersenyum gemas.
“Yang itu pun kuserahkan pada imajinasimu!”
Dan tertawa. Kali ini tanpa aku, hanya dia sendiri yang tertawa.
…
Yah, mungkin ini salah satu dari skenario semacam itu. Seorang wanita pekerja kantoran yang bosan dengan rutinitasnya memutuskan untuk bolos kerja dan menggoda seorang pemuda di taman. Yah, aku yakin pasti seperti itu. Cuma itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal untuk keadaan ini. Aku yang merasa sangat bodoh dan terlecehkan ini.
Sayangnya ini hari minggu, dan walau pun wanita ini mengenakan pakaian kantor kuyakin dia bukan orang kantoran.