BROKEN BUTTERFLY; Beyond the Night That Differs Love and Lust

iswana suhendar
Chapter #15

Chapter 14. SANCTUARY

BRAK BRAK BRAK

Sudah kuusakan untuk mengetuk sehalus mungkin tapi adrenalin yang mengalir deras ini tak membiarkanku untuk melakukannya.

“WEENA!!!”

Dan suaraku pecah saking paniknya, pasti terdengar sangat aneh.

BRAK BRAK BRAK

“WEENA!!!”

Kumohon Weena buka pintunya. Tolong biarkan aku masuk.

CKLEK

Pintu terbuka sangat pelan, seolah yang membukanya tak ingin dunia luar melihatnya apa yang ada di dalamnya. Dari pintu yang terbuka perlahan itu muncul sosoknya, seorang gadis dengan rambut diikat dan kacamata yang menyembunyikan sepasang mata sembab setelah menangis kemarin. Weena, seandainya dia tahu betapa lega perasaanku bisa melihatmu. Semua teror dan rasa takut yang sudah membawaku kemari terangkat begitu saja begitu melihat wajah itu.

Dengan nafas yang belum teratur kupegangi kedua pundak mungil itu, ingin rasanya aku roboh begitu saja dalam pelukannya. Mulutku kering, dan nafasku satu-satu. Tak bisa menjelaskan apa pun pada wajah yang menuntut penjelasan itu. Tapi kupikir bukan itu yang dia butuhkan saat ini.

PLAK

Satu tamparan mendarat tepat di pipi kiriku.

PLAK PLAK

Dua tamparan lagi mendarat di pipi kirikku. Dan sekarang akulah yang menuntut penjelasan darinya. Dari wajah merah yang seakan meleleh dengan air mata itu. Tangisnya pecah, kedua pundak mungilnya masih dalam genggamanku, kuguncangkan berharap mendapat jawaban. Tapi hanya tangisnya yang semakin pecah, memukul-mukul dadaku dengan segenap keputusasaannya.

Setidaknya aku tahu satu hal. Saat ini tak ada kata yang bisa mewakili perasaannya, hanya air mata. Dan setelah semua itu habis, dia tutup kembali pintu itu. Meninggalkanku di luar.

Langit senja kemerahan. Aku masih disana, di samping pintu apartemennya yang dia tempati sendirian. Tak tahu lagi harus pergi kemana. Setelah kejadian siang tadi rasanya tak aman bagiku kembali ke rumahku. Wanita itu tahu dimana aku tinggal.

Senja turun perlahan diiringi perutku yang mulai terasa lapar. Sial! Keresek belanjaan tadi kutinggalkan begitu saja di taman. Aku tak bisa terus berada di tempat ini, hari juga mulai gelap. Saat beranjak dari tempat itu, pintu dibuka dari dalam dan suaranya menyuruhku masuk.

Aku tak mempercayainya. Dan dari celah pintu itu keluar wajah cemberut yang kedua matanya tak sudi melihat langsung ke arahku.

“Masuk!”

Dan saat dia menatapku, aku tak sanggup lagi menolak kedua mata itu.

Hanya ada satu kamar di dalamnya, selain kamar mandi tentunya. Sebuah kamar kira-kira 6x5 meter persegi dengan dapur tanpa sekat, hanya ada satu meja belajar tempat dia menyimpan semua perlengkapan sekolahnya. dan satu meja kecil untuk lesehan. Di atas meja kecil itu ada sebuah mangkuk dan gelas yang terisi air, kutebak isi dari mangkuk itu adalah sup ayam. Aku sempat melewati panci berisi sup itu saat masuk, dan masih terasa hangat saat kulewati.

Weena tak mengatakan apa pun, tak sepatah kata pun dia ucapkan. Hanya duduk menghadap laptopnya di meja kecil itu, di seberangnya sup yang masih hangat itu seakan sudah dia sediakan untukku. Aku duduk disana, masih tak mengerti apa yang sedang ia pikirkan. Di balik kaca matanya dia menatap tajam padaku, kupastikan dengan gerakan tangan bahwa sup itu boleh kumakan, dan dia mengangguk.

Sup itu hangat. Krim, jagung, wortel dan daging ayam yang dipotong dadu, juga ditemani sepotong roti baguette. Tak terhitung berapa kali sup buatan Weena ini menyelamatkan nyawaku, saking seringnya. Rasa hangat yang akhirnya menenangkan hatiku.

Lihat selengkapnya