Dari artikel yang pernah kubaca, seseorang yang mati gantung diri punya waktu 13 detik sebelum kehilangan kesadaran. Bayangkan berapa lama waktu tiga detik itu? kurang lebih itu waktu yang dibutuhkan untuk update status di media sosial, sesingkat itu waktu 13 detik berlalu. Tapi bagiku saat ini, yang sedang meronta berusaha mati-matian untuk bernafas 13 detik ini terasa begitu panjang dan menyiksa.
Leherku sakit, dan dadaku terasa akan meledak. Kedua tanganku berusaha melepas ikatan di leherku, bisa kurasakan ada tali cukup tipis dan berlapis-lapis terikat disitu. Sejak kapan tali ini ada disini? Dan bagaimana bisa? Baiklah Juno, kamu punya waktu 13 detik untuk memecahkan misteri ini, sambil terus meronta dalam rasa sakit.
Pertama, tak ada ikatan pada tali yang melilit leherku. Sudah kupastikan seluruh lilitan ini terdiri dari satu tali yang sama yang juga pasti terikat pada penunjang diatasnya. Penunjang itu.. sebelum berakhir seperti ini Alice menarikku mendekat ke tempatnya, tepat di bawah lampu taman. Baiklah, sekarang ini aku tergantung dibawah lampu taman, bayangan di bawahku juga menguatkan argumen itu. Selanjutnya!
Sial! tenggorokanku perih. Selanjutnya, tali apa yang saat ini sedang mengikatku? Dan dari mana asalnya? Apa ini semacam perangkap yang dia siapkan untukku? Disini? Tapi aku yang jelas-jelas mengajak Alice untuk bertemu dengannya di taman ini, malam ini. Dia tak mungkin menyiapkan perangkap ini sebelumnya, atau mungkin? Apa dia membuatnya selagi mendengarkan ceritaku, bagaimana bisa? Ini tak masuk akal.
Kulihat Alice tersenyum dibawah sana. Tanpa sadar kujulurkan tangan kananku kepadanya berharap dia akan menolongku, yang rasanya tak mungkin dia lakukan. Tapi, dari tanganku aku menyadari sesuatu. Gelang pemberian Alice sudah tak ada lagi disana. Ya, gelang yang selama ini mati-matian kulepas itu akhirnya lenyap. Tunggu! Apa mungkin tali ini.. gelang yang dia berikannya padaku?
Alice menyambut tanganku, dan dia genggam dengan kedua tangannya. Tapi dia sama sekali tak berniat melepaskanku, hanya menggenggam tanganku itu seperti berusaha menenangkanku. Aku semakin meronta, kakiku kutendang-tendangkan tak beraturan. Dia menyadari ini dan langsung memeluk kedua kakiku. Kedua lututku terkunci dalam pelukannya, wajahnya menempel erat dipahaku.
Sambil mengelus lembut pahaku dia melihat setiap detik penderitaanku. Dari posisi ini dia bisa dengan mudah menarikku kebawah dan membuat cekikan dileherku semakin erat, juga mencegahku untuk terus meronta.
Dan senyum itu, senyum yang mengantarku pada kematian.
Apa 13 detikku sudah berakhir? Tentu saja belum. Bagaimana pun aku meronta aku tahu aku tak akan bisa lepas dari jeratan ini, aku sangat mengerti akan hal itu, tapi tubuhku masih saja berusaha untuk terlepas. Masih terus meronta dengan sisa tenaganya.
Entah berapa detik lagi waktu yang kumiliki saat ini, berapa lama pun itu rasanya tak penting lagi bagiku. Aku sendiri sudah tak berharap lagi untuk bisa keluar dari keadaan ini. Bisa kubayangkan head line berita beberapa hari kedepan akan membahas tentang diriku yang mati di taman ini, dan si pembunuh yang masih tak juga tertangkap. Tak akan banyak yang diceritakan tentang si korban – dalam hal ini aku – selain yang sudah diketahui orang-orang tentangku. Mungkin butuh waktu beberapa minggu sampai orang tuaku tahu tentang kejadian ini. Mereka pasti sedih, tapi kurasa ini pun wajar saja mengingat kehadiran mereka yang antara ada dan tiada dihidupku. Mereka pasti mengerti.
Mungkin ini terdengar egois, tapi mereka sendiri yang meninggalkan anaknya tanpa pengawasan, jadi wajar saja kalau hal seperti ini terjadi. Dan aku pun tak menyalahkan mereka. Aku tahu betul penelitian mereka jauh lebih penting dari pada anak mereka sendiri.
Ah, mungkin sarkasmeku sudah kelewatan.
Aku tak ingin kenangan terakhirku di dunia ini tentang orang tuaku yang keberadaannya antara ada dan tiada itu. Mari pikirkan hal yang baik. Satu hal yang kusyukuri, aku bisa kembali baikan dengan Weena. Tak ada yang bisa menjadi penyesalan terbesarku selain harus pergi tanpa meluruskan masalahku dengannya terlebih dahulu. Biar bagaimana pun dia..
Dia Weena, yang akan jauh-jauh datang ke rumahku tanpa pikir panjang dan merawatku yang sedang sakit. Yang mau mendengarkan cerita membosankanku selama jam makan siang. Yang kalau gugup selalu menggenggam erat barang apa pun yang ada di dekatnya. Yang selalu bisa mengatakan hal yang tepat di waktu yang tepat, terutama hal yang aku terlalu tak mau repot untuk mengatakannya. Yang sup buatannya sudah berkali-kali menyelamatkan hidupku, syukurlah aku sempat memakannya tadi. Yang akan memarahiku karena khawatir dengan keadaanku, aku masih tak mengerti dengan yang satu ini tapi dia memang seperti itu.
Dia Weena, sahabat terbaikku. Yang tawa dan tangisnya selalu menggantikan tawa dan tangisku yang tak pernah terbiasa dengan hal emosional semacam itu. Bahkan ditahap dimana kupikir dia terlalu mendramatisir suasana. Tapi begitulah dia.
Melihat wajah marah dan khawatirnya sore tadi. Tak bisa kubayangkan akan jadi seperti apa wajah itu jika sampai berita kematianku sampai padanya nanti. Yah, tak bisa kubanyangkan. Dan tak ingin kubayangkan. Aku tak ingin membayangkan dirinya bisa lebih hancur lagi setelah kejadian kemarin. Membayangkan Weena yang sedang menangis entah kenapa terasa lebih menyakitkan dari pada membayangkan kematianku sendiri. Yang mana sudah ada tepat di hadapanku saat ini.
Aku tak ingin mati! Aku tak bisa membiarkan ini terjadi!
Keinginan itu muncul begitu saja di detik-detik terakhir hidupku. Pasti ada cara untuk keluar dari keadaan ini! Pikir Juno! Waktuku tak banyak mengingat kakiku yang sedari tadi dipeluk Alice sudah mulai terasa lemas, tapi pasti ada cara! Itu dia! Kakiku yang sedari tadi dipeluknya kalau aku bisa mengumpulkan sisa tenagaku disitu dan entah bagaimana menyeimbangkan tubuhku di atas pundaknya mungkin..