Seperti yang wanita itu katakan, tak lama polisi pun datang ke tempat kejadian. Di luar dugaanku yang datang hanya satu mobil polisi dengan seorang detektif di dalamnya. Dia menanyaiku perihal kejadian itu dan menerima ceritaku begitu saja. Cerita yang sangat tak masuk akal itu dia terima begitu saja tanpa curiga atau berpikir aku sudah gila.
Seperti yang dikatakan wanita itu.
“Maaf, bisa tolong tunjukan lencana anda. Pak detektif?”
Tentu saja aku curiga dengan polisi ini. Mana mungkin kasus seheboh ini hanya mendapat penanganan sesederhana ini. Dan lagi semua ini terasa begitu mencurigakan.
“Kau berani mempertanyakan posisiku disini, begitu?”
Aku tak menjawab pertanyaan retorik itu.
Dia pun mengeluarkan ID-nya, dan nama itu rasanya tak asing bagiku.
“Oh, anda detektif yang sempat menanyai Benji?”
“Anak sekolah itu? Ya.. Jadi kamu temannya yang katanya sedang menyelidiki kasus ini?”
Aku juga tak menjawab pertanyaan ini. bukan karena tak ingin tapi karena tak bisa menemukan jawabannya. Rasanya memalukan mengakui memang akulah orang yang dimaksud detektif ini.
“Bukan.. saya hanya kebetulan ada di tempat dan waktu yang salah.. pak.”
…
Detektif itu membawa Alice ke mobilnya dan sudah siap meninggalkan tempat kejadian. Tapi sebelumnya ada satu hal yang masih mengganjal pikiranku.
“Pak, tunggu! Wanita berjas hitam, apa bapak tahu soal wanita itu?”
“Kau sudah bertemu dengan Risette?” dia menghentikan mobilnya tepat di depanku, “Wanita itu adalah Risette Invers, tak banyak yang kutahu selain pekerjaannya sebagai informan. Saranku, kau jangan pernah berurusan dengannya.”
Mobil itu meninggalkanku yang masih mencerna informasi ini. Risette Invers, informan, revolver dengan 7 slot peluru, Broken Butterfly.
…
Besoknya aku tidak pergi ke sekolah. Banyak hal memenuhi kepalaku, banyak pertanyaan tak terjawab. Juga wajah damai Alice saat dia terkapar tak berdaya di pelukanku. Sulit sekali menghapus wajah itu dari kepalaku. Sejak saat itu aku tak henti-hentinya mempertanyakannya, kenapa? Kenapa dia sampai seperti itu? Kenapa bersikeras melindungiku? Dan kenapa sejak awal dia berusaha membunuhku?
Aku tak bisa menemukan jawabannya. Sore harinya Weena datang menjenguk, dengan kunci cadangannya dia bisa masuk begitu saja ke rumahku. Dan di kamarku dia menemukanku. Terdiam di kursiku, memandang kosong pada meja yang berantakan dengan dokumen berkaitan kasus itu. Dia tak mengatakan sepatah kata pun, hanya diam menungguku bercerita.
Keberadaannya tak kuhiraukan, aku masih sibuk dengan semua pertanyaan tak terjawab di kepalaku. Walau begitu aku tahu dia duduk tepat di belakangku, di atas kasurku dan mungkin sedang asyik dengan laptopnya.
Akhirnya kuceritakan semua padanya.
“Aku bisa ngerti kenapa dia sampe ngelakuin itu.”
Tanggapan singkatnya setelah paparan panjang lebarku agak membuatku tak terima. Tapi kulihat dia memang sungguh-sungguh dengan perkataannya.
Dan setelahnya dia mengajakku turun ke lantai bawah untuk menyiapkan makan malam.
…
“Kasusnya benar-benar ditutup.”
Benji yang sedari tadi duduk di depan mejaku nampak tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakannya.
“Dipikir gimana pun kasus ini memang gak wajar, jadi wajar saja kalau memang berakhir dengan cara yang gak wajar.” Balasku sekenanya.
Aku masih berkutat dengan tugas sastra dan literasi yang kukerjakan di menit terakhir sebelum bel masuk kelas. Sudah hampir seminggu sejak peristiwa di taman yang hampir merenggut nyawaku, aku masih menggunakan perban di leherku agar bekas jeratannya tidak kentara.
Tak ada satu pun media yang meliput kasus ini. Berbeda sekali dengan beberapa bulan yang lalu saat media sangat gencar memberitakannya, seolah kasus ini memang sengaja ditutupi dan dibuat menguap begitu saja.
Dengan fakta ini saja sudah cukup untuk membuat Benji gelisah bagai orang sakaw.
“Hmmm.. Tapi kalo kamu pikir gini..” Benji memperhatikan betul-betul kalimat yang akan kuucapkan selanjutnya. “Kalo kamu pikir semua cerita ga masuk akalku barusan sebagai kebohongan belaka, dan kita beranggapan kalo pembunuh itu masih berkeliaran di luar sana walau polisi sudah menutup kasusnya, rasanya ending ceritanya jadi lebih masuk akal..”
“Kamu ingin aku berpikir kalo kamu berbohong, gitu?”
“Yup!”
“Mana mungkin bisa!” dia memukul lenganku, dengan keras. “Aku percaya kamu! Detektif Juno.”
Sumpah aku benci dengan panggilan itu.