Beyond The Night That Differs Love and Lust
Prolog
Jantungku berdegup kencang. Aku berusaha untuk berjalan sewajar mungkin, hanya lebih cepat. Aku tak berani melihat kanan kiri, apalagi melihat ke belakang. Aku tahu dia ada disana, mengikutiku. Lebih cepat! Rumahku sudah terlihat. Aku tak kuasa untuk tidak berlari ke arah pintu itu, mengeluarkan kuncinya dari saku celanaku dengan tangan yang gemetar. Ah, aku menjatuhkan kuncinya! Dengan tangan yang masih gemetar kuambil kunci itu, memasukannya ke lubang kunci, suara KLIK saat aku memutarnya memberikan sensasi lega yang tak biasa. Aku selamat sampai di rumahku.
Segera setelah aku masuk rasa dingin langsung menyambutku. Pakaianku basah kuyup, rasa takut membuatku mengabaikan fakta bahwa sedari tadi aku berjalan, agak berlari, di tengah hujan deras. Dan rumahku tak mengobati rasa dingin ini, tak ada siapa pun yang menyambutku dengan handuk dan pakaian kering, atau kopi panas. Aku tinggal sendirian di rumah ini. Dan rasa dingin ini tak bersimpati sedikit pun dengan keadaanku.
Aku mulai bisa mengatur nafasku. Tetes air membasahi lantai, merepotkan sekali kalau aku tetap disini. Harus segera mengeringkan diri dan ganti dengan pakaian kering. Tinggal sendirian ditambah sebagian besar waktu yang kuhabiskan di sekolah membuatku tak ingin repot mengurus rumah, karenanya aku selalu menghindari hal yang membuatku harus beres-beres seperti kegiatan kelompok di rumahku. Soal itu biasanya kuserahkan pada Weena Shurelion, ketua di kelasku juga sahabatku sejak kecil. Hari ini pun aku baru saja dari rumahnya, atau lebih tepatnya kamar kostnya, untuk kegiatan kelompok. Kamar kost ya, mungkin aku bisa mencari kamar kost untuk diriku sendiri, bagaimana pun mengurus rumah sebesar ini bisa sangat merepotkan.
Suara TV sayup-sayup terdengar dari ruang tengah. Aku sudah duduk dengan nyaman menghadap meja belajarku di lantai dua, segelas kopi hangat kugenggam menghangatkan telapak tanganku. Sedikitnya aku mulai bisa berpikir jernih tentang apa yang baru saja terjadi. Sekitar seminggu yang lalu, hari itu pun hujan turun cukup deras, aku dalam perjalanan pulang dari perpustakaan. Aku sempat berpapasan dengan seorang siswi dari sekolahku yang tampaknya sedang terburu-buru menghindari hujan yang sedang deras-derasnya. Aku sendiri sedang terburu-buru saat itu, karenanya aku mengambil jalan pintas melewati taman dekat rumahku. Wajarnya aku tak akan mengambil rute ini, taman ini selalu ramai dengan anak-anak yang bermain sepulang sekolah, tapi lain ceritanya jika hujan deras begini.
Sesuai dugaanku taman itu sepi. Aku bisa lewat tanpa harus merasa canggung atau terganggu, pikirku. Aku terdiam sejenak melihat siluet seseorang sedang berdiri di taman yang kosong karena diguyur hujan deras. Seorang wanita, pikirku saat mendekatinya perlahan. Dia memandangi kelangit dengan tatapan kosong, membiarkan tetes-tetes hujan membasuh wajahnya. Pemandangan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Wanita itu membiarkanku lewat begitu saja seolah tak menghiraukan keberadaanku. Ada sensasi dingin menjalar di tulang belakangku saat aku melewatinya, sensasi yang seolah melarangku untuk menoleh kembali pada wanita itu dan menyuruhku bergegas pulang ke rumah.