BROKEN BUTTERFLY; Beyond the Night That Differs Love and Lust

iswana suhendar
Chapter #2

Chapter 01. JUNO WELKINS

“CEPAT BANGUN PEMALAS!! LIHAT SUDAH JAM BERAPA SEKARANG!!!”

Jam weker pemberian ayah membangunkanku seperti biasa. Dan seperti biasa aku terbangun dengan perasaan jengkel karena suaranya. Dengan mata yang masih setengah tertutup kumatikan jam sialan itu.

Belum beranjak dari tempat tidurku aku memandangi langit-langit kamar, mencoba mengingat kembali kejadian kemarin. Segera setelah panggilan itu Weena langsung bergegas ke rumahku, untuk keadaan darurat seperti ini aku memberinya kunci cadangan rumahku dan dia tak menemukan kesulitan untuk masuk ke kamarku di lantai dua. Aku tak begitu ingat apa yang kulakukan saat itu, yang kuingat hanya wajah khawatirnya, dia membopongku untuk duduk di kasurku dan membantu menenangkanku.

Aku duduk di kasurku mencoba mereka ulang kejadian itu, terpikir olehku mungkin waktu itu aku sedang sembunyi di bawah meja belajarku sebelum Weena datang. Dan ada noda di lantai, noda apa itu? Aku cium sedikit bau kain lap yang menutupinya. Muntah, dia pasti menemukanku dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Kuakui aku benar-benar malu pada diriku.

Saat kuraih smart phone-ku di atas meja aku juga menemukan mangkuk berisi air dan lap yang biasa dipakai untuk mengompres demam. Reflek aku memegang dahiku, dan memang terasa agak demam, dan baju yang kupakai basah karena keringat. Hmm, Jadi seperti itu kejadiannya. Kuambil smart phone-ku yang ternyata memiliki satu pesan belum dibaca dari.. tentu saja, Weena.

“Syukurlah demamnya sudah turun. Masih ada sisa sup di dapur, jangan lupa obatnya diminum!”, disertai stiker lucu khasnya.

Aku hanya bisa menitikkan air mata dan mensyukuri hidupku sambil menyantap sup yang dimaksud, sup yang merupakan makanan terenak yang kumakan setelah sekian lama.

Air hangat yang kugunakan untuk mandi pagi ini mebuatku merasa lebih segar. Awan mendung masih bergelayut di langit membuat pagi itu begitu gelap dan murung. Kendaraan yang lalu-lalang masih menyalakan lampu depannya, adegan berangkat sekolah kali ini jadi terlihat seperti adegan pulang sekolah. Aku duduk di halte bis itu, menggunakan jaket parasut bertudung tak ingin basah kuyup sebelum jam pelajaran pertama di mulai.

Serentak orang-orang yang duduk di kursi itu berdiri, nyaris bersamaan. Aku hanya menoleh ke arah cahaya menyilaukan yang datang perlahan. Bus yang kutunggu akhirnya tiba, dari pada berebut masuk dengan penumpang lainnya aku memilih untuk mempersilahkan mereka masuk terlebih dahulu. Pintu bis itu berdesis sesaat setelah aku menaikinya, tak ada kursi kosong yang bisa kududuki. Aku sudah sangat terbiasa dengan hal ini.

Tak lama bus melaju sampai akhirnya berhenti di halte selanjutnya. Tubuhku oleng, karenanya, kugenggam erat pegangan yang tergantung di atas kursi penumpang. Bisa kurasakan bubur sarapanku pagi ini bergejolak di perutku mencari jalan keluar. Ini buruk, tak rela rasanya jika harus kehilangan makanan terenak setelah sekian lama seperti ini. Kutahan diriku sekuat tenaga agar tak kehilangan hidangan yang sangat berharga itu.

“Pagi..”

Saat itulah suara lembut itu menyapaku. Nadanya segar, sangat tak sesuai dengan latar kota yang muram pagi itu.

“Gimana udah baikan?”

Aku menoleh kearah suara itu, mengetahui kalau Weena Shurelion ada di sampingku.

“Kayaknya belum ya..”, dia menjawab pertanyaannya sendiri.

Sepertinya wajahku pagi ini cukup menjelaskan keadaanku. Walau begitu kupaksakan sedikit senyuman untuk menghiburnya.

Selanjutnya selama perjalanan di bus itu aku diceramahi habis-habisan tentang pentingnya menjaga kesehatan terutama di musim hujan seperti ini.

“Kamu tuh, tahu tinggal sendirian harusnya bisa ngurus diri sendiri. Untung ada aku, gimana kalo..”

Baiklah, dititik ini aku mulai merasa diomeli.

Dia terus mengomel sampai tiga halte selanjutnya. Hanya sempat terhenti saat kami harus keluar dari bus, dan percakapan itu hening. Kupikir dia sudah lebih tenang sekarang, mungkin sudah waktunya aku katakan sesuatu.

“Soal kemarin.. thank’s ya. Nanti kutraktir makan siang.”

“Iya, ga apa-apa kok”

Dan kembali hening.

Kualihkan pikiranku ke tempat lain, melihat siswa-siswi lain yang juga berjalan ke sekolah, mereka yang bergerombol sambil sesekali tertawa. Dan hujan, aku bisa merasakan tetesnya di wajahku.

Setetes, dua tetes, dan tanpa ampun hujan turun dengan derasnya. Siswa-siswi tadi mulai berlarian ke sekolah. Percuma, pikirku. Dengan intensitas hujan seperi ini, secepat apa pun kalian berlari kalian tetap akan basah kuyup. Ditambah, berlari saat hujan malah akan membuat kalian dua kali lebih basah kuyup. Tudung jaket parasutku sudah terpasang, dari tasnya Weena juga mengeluarkan payungnya.

Kurasakan dorongan untuk menengadah ke langit. Membiarkan hujan membasuh wajahku, teringat itu jugalah yang dilakukan wanita itu. Apa yang dia pikirkan waktu itu? Sendirian di tengah taman yang sepi, memandangi langit dengan tatapan kosong itu.

“Mata yang terlihat sedih..”, gumamku.

Weena yang sudah agak jauh di depanku kembali menjemputku. Aku kembali ke dunia nyata, menemukan dirinya dinaungi payung, menawariku untuk ikut berlindung dibawahnya. Aku tak menolaknya, atau lebih tepatnya tak bisa menolaknya.

Gerbang sekolah sudah terlihat, kami berjalan dibawah payung yang sama. Aku yang asyik dengan jutaan pertanyaan di benakku dan dia yang, entah kenapa menundukan wajahnya sedari tadi. Siswa-siswi lain sibuk mengeringkan pakaiannya di depan pintu masuk, aku dengan santainya membuka jaket parasutku dan membawanya sepanjang lorong sekolah. Aku dan Weena tak bertukar sepatah kata pun di sisa perjalan kami.

Lihat selengkapnya