“Jadi begitulah..” ucapku bersiap mengakhiri paparan melelahkan nan berliku ini, “kupikir selama ini aku cuma paranoid dan dari situ jadi gak bisa ngambil kesimpulan dengan baik. Mungkin selama ini aku salah, mungkin wanita misterius itu cuma sales keliling yang muncul di tempat dan waktu yang salah.”
Ini jam makan siang. Seperti biasa aku dan Weena menghabiskan waktu di belakang perpustakaan di lantai dua sekolah kami. Tempat yang terpencil dan sulit ditemukan ini menjadi tempat rahasia kami menghabiskan waktu makan siang. Bagiku ini tempat yang tenang untuk sekedar melamun atau membaca buku. Bagi weena ini tempat diamana dia bisa asyik dengan laptopnya tanpa harus dicap ansos.
Cuaca cerah siang itu, bau laut dari kejauhan dan keperakannya yg samar-samar kulihat dari balik gedung dan bangunan lainnya. Aku bersandar pada tembok di belakangku yang terasa dingin di punggungku.
“Siapa tadi? Nama cewek yang kamu temuin kemarin?” Weena melepas kacamatanya.
Pertanyaan itu tiba-tiba saja dia lontarkan. Weena yang sedari tadi asyik dengan laptopnya seperti biasa mendengarkan ceritaku.
“Entah.. aku ga tahu soal situ. Cuma sempat berpapasan di bus dan yang kuingat soal dia cuma pakaian dan wajahnya.” Jawabku sambil menerawang ke laut yang jauh disana.
Weena menatapku marah.
“Apa? Kenapa?”
“Bukan itu! Nama cewek dari sekolah kita yang kemarin pulang bareng kamu!”
“Aku baru aja jelasin cerita misteri kriminal dimana wanita misterius itu sebagai fokus ceritanya dan kamu malah tanya soal karakter sampingan yang gak berkontribusi apa pun ke ceritanya? Well done Weena, Well done..”
Tatapan marah itu semakin intens, mungkin tak lama lagi dia bisa membenturkan laptopnya itu ke kepalaku. Tapi tak mungkin, sebenci apa pun dia padaku aku yakin cintanya pada laptopnya jauh lebih besar.
“Bodo amat!! Siapa namanya!? Cepet bilang!!!”
“Eu.. ya, ugh.. hmm..”
Dan sekarang aku baru sadar, setelah semua hal yang terjadi kemarin. Semua detail yang kompleks itu. Aku sama sekali tak ingat siapa namanya. Hanya boneka teru-teru bozu dan sifat riangnya di bawah hujan. Selain itu aku tak ingat apa pun soal gadis itu.
“Sial aku lupa..”
…
“Setelah ngabisin waktu bareng seorang gadis, kamu bahkan ga inget siapa namanya. Such a gentleman, Juno. Such a gentleman..”
Sepanjang perjalanan kembali ke kelas dia terus mengomeliku soal itu. Pertama, itu jelas bukan tindakan yang efektif karena sama sekali tidak membantuku untuk mengingat nama gadis itu. Kedua, aku sangat yakin kalau informasi soal namanya ada di suatu tempat di kepalaku hanya saja saat ini sangat sulit kutemukan. Dan selanjutnya, ada apa dengan nama sialan itu!? Kenapa itu jadi begitu penting untuk Weena saat ini sampai membuatku pantas mendapat perlakuan seperti ini!?
“Nah, itu dia!”
Seorang teman sekelasku menunjuk padaku, nampaknya seseorang sedang berusaha mencariku ke kelas dan..
“HAI JUNOOO!!! Aku cariin dari tadi!!”
Yah, aku bahkan tak sempat menyelesaikan kalimat dibenakku sendiri. Seperti dugaanku dia sangat mudah bergaul dan tidak kesulitan untuk akrab dengan teman-teman sekelasku selama mencariku. Beberapa siswi berbisik-bisik melihat adegan ini di kejauhan, dan gadis itu sama sekali tidak terganggu dengannya.
Weena melirikku singkat, memastikan kalau ini gadis yang sedari tadi dimaksud. Dari ekspresi wajahku dia mengerti dan mengambil celah antara aku gadis itu.
“Ada perlu dengan Juno?”
“Engga sih, Say hi aja.. Kamu siapa ya?”
“Bukannya ga sopan ya kalau nanyain nama orang tanpa sebelumnya memperkenalkan diri?”
Atmosphere lorong kelas tempat percakapan itu belangsung mendadak terasa menyesakan. Beberapa gadis dari kelasku mulai terlihat gelisah dan yang lainnya berusaha menghindar, aku sendiri tak bisa berbuat banyak di tengah percakapan yang terasa canggung itu.
“Aku Alice Eris, kemarin aku pulang bareng Juno..” Jawabnya ringan sambil mengulurkan tangan mengajak bersalaman.
Weena hanya tersenyum tipis tanpa menghiraukannya. Hanya kulihat kedua tangannya memeluk erat laptop di dadanya.
Aku sangat kenal kebiasaannya yang satu ini. Kebiasaan dia memeluk bantal, laptop, atau tasnya saat merasa gelisah dan tidak nyaman. Tangannya gemetar tak ingin menolak berjabat tangan, tapi hanya bisa mematung seperti itu membiarkan gadis di hadapannya menunggu. Suasana semakin canggung.
“Bentar lagi bel masuk kelas..”
Kuberanikan diri menepuk punggungnya, mendorongnya keluar dari situasi menyesakan itu. dia mengangguk dan tersenyum canggung pada gadis itu.
“Ah iya! Nanti ketemu lagi ya!” gadis itu nampaknya mengerti dan mulai undur diri, “Nanti pulang bareng ya! Kelasku di sebelah, kalau keluar duluan nanti kutunggu di gerbang kayak kemarin.”