Perpustakaan itu sepi seperti biasanya, hanya ada beberapa siswa yang dari seragamnya bukan berasal dari sekolah kami mulai beranjak satu per satu. Maklum saja, sekarang sudah hampir jam tutup. Letaknya yang strategis di tengah kota membuat perpustakaan ini banyak dikunjungi siswa-siswa dari sekolahan di sekitarnya. Koleksi bukunya juga lebih lengkap dari perpustakaan sekolah pada umumnya.
Jika datang pada jam kantor, apalagi hari senin, mungkin aku bisa menemui pegawai pemerintahan yang sedang mengurusi dokumen administrasi. Sebagai fasilitas pemerintahan kota, tempat ini sangat vital karena menyimpan arsip-arsip penting yang aksesnya sangat dibatasi. Ya, aku bilang dibatasi karena letaknya memang terpisah dan eksklusif agak ke dalam. Sementara kami hanya bisa sampai sejauh ini, di rak paling pojok tempat mereka menyimpan buku filsafat dan psikologi.
Weena sudah nyaman dengan tempatnya, di meja yang secara tidak tertulis menjadi mejanya di perpustakaan ini. Kacamatanya sudah ia kenakan, pertanda dia sudah tidak bisa diganggu. Weena sama sekali tak tertarik dengan buku-buku disini, dia hanya kesini untuk menggunakan akses wi-fi yang memang lebih cepat dari wi-fi sekolah kami. Aku? tentu saja aku kesini untuk mencari buku.
Di hadapanku berdiri rak buku dengan buku beragam ukuran berjajar di dalamnya. Aku hafal susunan buku di rak ini karena memang ini salah satu tempat favoritku, di dalamnya ada buku tentang filsafat dan psikologi dan, ini yang sampai sekarang tak kupahami, novel tulisan Edgar Alan Poe yang entah kenapa bisa berakhir di rak ini, bukan rak tempat novel dan sastra. Pernah sekali kutanyakan soal ini kutanyakan ke penjaga perpustakaan, dan penjelasannya karena rak sastra sudah penuh dan kontennya kurang lebih membuatnya cocok di tempatkan di rak filsafat dan psikologi. Untuk itu aku bisa setuju dengannya.
Telunjukku berada di tempat dimana buku kumpulan cerpen berjudul “Black Cat” seharusnya berada, tapi bukan buku itu yang kutemui disitu.
“Sial, dipinjam orang..” ketusku dalam hati.
Terakhir aku melihatnya ada disini sekitar dua hari lalu, dan mengingat tebal buku dan batas maksimal durasi peminjaman buku di perpustakaan ini. Setidaknya aku tak akan menemukan buku itu untuk dua minggu kedepan.
Weena masih di mejanya, asyik dengan apa pun yang dia lakukan di laptopnya. Dan Alice, mengambil kursi di hadapan Weena, entah bagaimana bisa puas dengan apa pun yang dia temukan di layar smartphone-nya. Tak ada komunikasi antara kami bertiga dalam 20 menit terakhir kami di ruangan penuh buku ini. Aku masih jongkok di depan rak buku favoritku, memindai baris demi barisnya berharap bisa menemukan sesuatu yang menarik untuk dibaca.
“Aku menyerah..”
…
“Hei Juno, kenapa temen-temen di kelasku pada panggil kamu detektif Juno?”
Hah? Panggilan macam apa itu? Kedengarannya bodoh sekali. Alice mencoba memulai percakapan dengan hal yang benar-benar asing buatku, entah bagaimana aku harus menaggapinya.
“Kelas sebelah ya, mungkin karena itu! Inget ga Juno? Darmawisata waktu kelas 2?”, Matanya masih terpaku pada laptopnya, tapi seperti biasa Weena selalu menyimak pembicaraan.
“Darmawisata kelas 2 ya..? Soal handphone yang hilang itu ya?”
Aku cuma bisa mengingat samar-samar kejadian itu. Tapi rasanya itu pun sudah cukup bagiku.
“Gimana? Gimana? Gimana ceritanya?”, Perhatian Alice teralih sepenuhnya dari smarthphone yang sedari tadi dimainkannya.
“Waktu Darmawisata tahun lalu, ada siswa kelas sebelah yang kehilangan handphone di kamar penginapan. Satu kelas bikin investigasi semalaman buat nemuin itu handphone, tapi ga ketemu. Sampai beberapa menit sebelum bus berangkat, kebetulan karena kita satu bus, Juno ikut bantu nyari dan akhirnya ketemu.”
Terima kasih Weena sudah menggantikanku menjelaskan detail yang merepotkan itu. Kamu memang yang terbaik.
“Hee.. Kok bisa? Gimana caranya bisa ketemu?”
“Ya dicarilah.” aku benci menanggapi pertanyaan yang jawabannya sudah jelas seperti itu.
“Kenapa bisa kamu temuin?”
Aku melirik Weena sejenak berharap dia mau menjawab pertanyaan Alice yang terdengar antusias itu. Tapi aku tak mendapat respon yang kuharapkan.
“Gampangnya sih..” aku menarik nafas panjang mengawali penjelasan panjang dan merepotkan ini. “ Kebanyakan dari kita melihat suatu fenomena cuma dari satu sisi. Contohnya kasus ini, sepintas cuma keliatan kayak kasus kehilangan handphone biasa, karena memang seperti itulah adanya. Tapi sebelum dan sesudah fenomena itu terjadi tentu ada kejadian lain yang mengikuti, dan itu jelas masuk dalam hitungan...”