BROKEN BUTTERFLY; Beyond the Night That Differs Love and Lust

iswana suhendar
Chapter #6

Chapter 05. FRACTION CONJUNCTION

“Halo? Juno?”

Suara itu terdengar jauh dari tenang di seberang telepon sana. Kepalaku masih terasa berputar semenjak pulang dari perpustakaan tadi, tapi sudah jauh lebih baik semenjak sampai di rumahku dan secangkir kopi panas di genggamanku.

Aku di kamarku di lantai dua, duduk di kursi belajarku, alat tulis bersiap di mejaku kalau-kalau aku perlu mencatat sesuatu. Aku berusaha terdengar setenang mungkin walau adrenalin sedang membanjiri pembuluh otakku.

“Ben.. tolong jelaskan semuanya, secara berurutan..!”

Benji yang juga biasa dipanggil pak jurnalis di kelasku menarik nafas agak panjang. Aku harap dia bisa menjelaskan semuanya dengan tenang tanpa melewatkan satu detail pun, tentang foto korban yang tadi sore dikirimnya, tentang semua yang dia tahu berkaitan kasus ini.

“Jadi.. tahu kan tadi aku bolos jam pelajaran siang? Nah, aku dapet kabar kalo di taman distrik S ada kejadian dan langsung cabut ga pake mikir..”

Baik, ini menjelaskan perihal absennya siang tadi, kalau memang segawat itu aku bisa mengerti kenapa dia bolos walau tahu akan ada test.

“Aku sampe di tempat kejadian dan udah ada polisi juga ambulance disana, beberapa foto sempet kuambil sebelum akhirnya seorang polisi yang sedang berjaga menarikku keluar dari tkp..”

Foto di TKP.. tapi jelas bukan foto itu yang tadi dia kirimkan padaku.

“Lalu?” tanyaku mulai tidak sabar.

“Seorang polisi yang mengaku sebagai detektif menanyaiku beberapa pertanyaan. Aku kooperatif.. keberadaanku disitu udah sangat mencurigakan..”

“Dari polisi itu kamu dapet foto yang kamu kirim tadi sore?”

“Iya, katanya itu dari kasus sebelumnya. Aku ditanya soal para korban yang ternyata masih seumuran kita. Detektif itu curiga ada motif tertentu di kasus ini..”

“Dan..”

“Dan pembunuhnya masih berkeliaran di kota ini!”

Sebisa mungkin aku tak ingin mendengar kesimpulan itu. Aku tahu dengan jelas tanpa harus mendengar keseluruhan ceritanya, dan itu adalah kesimpulan yang paling tak ingin kutemui.

Aku mengurut keningku sekedar menghilangkan pening, sejak dari perpustakaan tadi rasanya kepalaku berat sekali. Kugunakan sandaran kepala kursiku, kopi di atas meja yang kubawa dari dapur belum kuminum sejak tadi. Aku di kamarku, di meja belajarku ditemani secangkir kopi dan kasus yang menghantuiku sejak seminggu terakhir. Bukan teman yang kuharapkan di malam hari yang menuntutku untuk istirahat karena besok masih harus pergi ke sekolah.

Baiklah Juno, mari urutkan masalahnya dari awal.

Bus yang sumpek penuh penumpang, sore hari jam pulang kantor. Aku dalam perjalanan pulang bersama dua orang gadis yang semakin lama semakin setuju untuk saling tidak setuju. Duduk di tengah, diantara dua kekuatan yang bisa saling menghancurkan kapan pun ada kesempatan, maksudku secara harfiah, tekanan diantara mereka berdua benar-benar membuat gerah. Ditambah sesaknya penumpang di dalam bus, lengkap sudah penderitaanku sore ini.

Kedua sisi di kanan dan kiriku saat ini benar-benar saling bertolak belakang. Weena di sebelah kananku duduk sambil memeluk tas ransel yang dia letakan di pangkuannya, kacamatanya dia kenakan sekedar menutupi wajah lelahnya. Aku tahu dia bisa tertidur dengan mudah di posisi ini, dan wajah tidurnya akan terlihat sangat imut dengan kacamatanya itu. Di sisi lain Alice nampak sama sekali tidak terganggu dengan segala ketidaknyamanan di bus ini. Dia asyik dengan lagunya, bersenandung seolah tak ada yang mendengarnya sambil sesekali bermain dengan boneka teru-teru bozu yang menjadi hiasan di casing smartphone-nya. Benar-benar tak terpengaruh dengan hiruk-pikuk disekitarnya.

“Jadi gimana? Mau coba selidikin kasus ini?” Alice mulai membuka percakapan yang rasanya salah tempat ini.

“Hah? Kasus?”

Aku mencoba menghindari topik yang bakal memicu kembali konflik di perpustakaan tadi. Kulihat ada seorang paman yang berdiri di depanku berharap bisa memberikan tempat duduk padanya.

“Pelajar kayak kita ga ada urusannya dengan kasus begituan! Jangan seenaknya bercanda!”

Weena menahan lenganku untuk tetap duduk di sisinya. Sahabatku satu ini tahu betul rute kabur yang sedang berusaha kuambil.

“Hee? Bukannya karena itu jadi pas banget! Ini bakal jadi cerita petualangan detektif Juno selanjutnya!”

Pertama, aku benci sebutan detektif itu. Selanjutnya kupikir kalian berdua sama benarnya juga sama salahnya.

“Gimana, Juno? Mau ya? Mau! Aku bakal jadi assisten kamu buat mencahin kasus ini!”

Lihat selengkapnya