Alarise terjaga semalaman. Selama itu pula dia berbaring dengan mata terbuka, menatap lurus langit-langit, ditemani suara jam besar di sudut ruangan yang berdetak layaknya jantung manusia—jantungnya, yang demi apapun ia harapkan berhenti saat itu juga. Rise ingin sekali menghampiri jam itu, lalu memutar jarumnya ke belakang, berharap dunia dan seisinya ikut kembali seperti semula, meskipun dia ragu apakah itu keputusan yang baik atau tidak.
Entah kenapa, setiap kali sendirian, Rise akan mengingat hari-harinya yang lalu dan yang urung. Dia begitu menghargai momen bahagianya yang dapat dihitung dengan jari. Lalu, tidak lama setelah mengingatnya, Rise akan menangis karena amat merindukannya.
Dalam waktu yang lama, dia nyaris saja lupa seperti apa rasanya bahagia. Dan, untuk alasan yang tidak pasti, dia baik-baik saja. Tapi, rasa itu kembali memabukkannya. Direngkuh sedemikian rupa oleh kebahagiaan yang sementara kian membuat Rise lupa diri. Lupa bahwa dia tidak ditakdirkan untuk itu. Bahwa dia memang dikehendaki untuk hidup tanpa merasakan apapun.
“Daniel sialan,” umpatnya, diiringi dengan air mata yang merembes lewat ujung matanya.
Kamar yang kosong melompong membuat tangisannya menggema ke seluruh ruangan. Rise berjanji kalau-kalau dia hidup sampai sepuluh tahun ke depan, dia hanya akan membeli rumah kecil dengan kamar kecil pula saja agar tangisannya tidak terdengar sebegitu menyedihkan. Malam ini dia sendirian. Ibunya sedang rapat entah di belahan dunia mana, sementara ayahnya entah berlibur dengan selingkuhannya yang mana.
Ada satu hal yang amat diinginkan Rise, tapi belum pernah terjadi. Malah, sepertinya hanya akan jadi angan-angannya saja. Saat umurnya masih di bawah 15 tahun, Rise seringkali ingin mendengar suara ibunya yang menanyakan keadaannya tiap membuka pintu selepas pulang sekolah. Dia ingin melihat raut Erica yang menyambutnya dengan hangat. Lalu, yang satu ini jauh lebih mustahil. Rise sempat berpikir alangkah menyenangkan memiliki seorang ayah yang mencium puncak kepala tiap kali hendak tidur maupun berangkat sekolah.
Bahkan, jika semua hal itu dialaminya dalam mimpi, dia akan sangat bersyukur. Sementara itu, baik dalam realita hidup maupun mimpinya, hal indah jarang sekali terjadi. Rasanya selama ini Rise tumbuh begitu saja tanpa disadari oleh orangtuanya. Sama seperti rumput liar yang dibiarkan tumbuh dan baru akan disadari ketika telah tumbuh tinggi, menjalar hingga merusak seisi taman.
Namun, Rise tidak peduli.
Aku tidak peduli.
Sulit sekali menjelaskan perasaan semacam ini. Yang hampa, yang kosong, yang tersesat. Dia hanya menginginkan sesuatu yang utuh. Apa saja. Segala sesuatu yang bisa melengkapi dirinya dengan luka yang kian menganga.
***
Empat bulan lalu, tidak seperti ini keadaannya.
Rise tersenyum lebar ketika mereka berdua berbincang di puncak menara taman kota. Keduanya mengucapkan permohonan singkat beserta beberapa rencana mereka kedepannya. Tentang kehidupan di masa yang akan datang—yang terasa sangat mewah sekali pun hanya bayangan semata. Lamat-lamat, Rise berharap akan menikah dan memiliki seorang puteri cantik, lalu menjadi ibu yang sempurna. Sementara Daniel, dia hanya berhadap tidak kehabisan alasan untuk tetap bernapas esok hari.
Asap mengepul dari mulut mereka. Gumpalan putih itu menghantarkan tawa manusia-manusa paling rapuh di muka bumi sehingga suaranya dapat didengar semesta.
Lucu sekali, pikirnya.
Semasa kecil, Rise selalu membayangkan akan bertemu pangeran berkuda putih di usia remaja yang akan menjadi cinta sejatinya. Dalam benaknya, pangeran itu begitu gagah, super tampan, berwibawa dan mirip seperti sosok yang diimpikan oleh orangtuanya. Namun, bayangan itu kian pudar hingga ia sadar bahwa manusia yang tengah menatap ke depan dengan pandangan kosong inilah wujud nyata dari sosok itu. Daniel jauh sekali dari laki-laki idaman Rise. Itulah yang membuat segala sesuatu yang ada di hidupnya seolah drama komedi belaka.
Aku tidak peduli.
Rise memandangi Daniel yang kini adalah kekasihnya. Bukan sosok kekasih resmi karena faktanya dia punya Noah Hayden yang diakui oleh seantero sekolah sebagai kekasih Rise dan keduanya telah berkencan sejak kelas 6. Alasan mengapa Rise punya dua kekasih adalah; karena Noah juga begitu, makanya dia baik-baik saja, sekali pun dia tidak pernah memamerkan Daniel di depan khalayak umum. Toh, dia lebih mencintai Daniel dan memang begitu adanya.
Daniel menautkan jemarinya dengan milik Rise. Di hari-hari yang lalu, Rise tidak pernah merasakan sehangat ini di kala musim dingin. Dulu, angin musim dingin selalu berlomba untuk mencabik-cabik kulitnya, membuat segala sesuatu yang ada dalam diri Rise membeku, lalu pecah menjadi kepingan. Namun sekarang, dia hanya merasakan kehangatan karena Daniel merengkuhnya, seolah tidak mau melepas gadis mungil itu barang sedikit, takut kalau-kalau dirinya melepaskan Rise, maka nyawanya akan ikut terlepas dari raganya.
Seumur hidupnya, Rise merasa seolah-olah dia adalah Pandora di kehidupan lampau yang membuka kotak sehingga menderitalah seisi dunia karenanya. Selama itu pula dia nyaris lupa jika dari sekian rasa sakit dan malapetaka yang berada di dalam kotak itu terdapat pula harapan yang tidak pernah disangkanya muncul dengan sosok manusia bernama Daniel. Maka, dia ingin menjaga laki-laki itu sebaik mungkin.
Satu-satunya harapan yang dimilikinya.
“Maaf,” ujar Rise. Daniel menggumam pelan, mempersilahkannya berbicara.
Terjadi keheningan yang cukup lama, sementara Daniel diam saja. Dia tahu betul, Rise tidak suka dipaksa berbicara atau pun bercerita tentang sesuatu yang mengganggu suasana hatinya. Dia cukup mendengarkan saja.