Menu makan siang di kantin sekolah memang patut menyandang gelar makanan paling buruk sedunia. Baki plastik berwarna putih itu hanya menampung makanan kaya gula dan kalori—yang demi apa pun mirip sesuatu yang selalu dimakan Mr. Brian, guru Matematika di sekolah itu. Selama beberapa tahun Mr. Brian bergelut dengan obesitas yang membuatnya diet ketat minggu kemarin dan berakhir dengan rawat inap, sehingga ia diam-diam meyakinkan diri untuk tidak diet lagi dan memilih meninggal karena penyakit jantung koroner daripada harus menahan godaan makanan lezat.
Alih-alih merasa iri kepada tubuh Mr. Brian yang seringkali mendapat hinaan dari hampir separuh guru di tempatnya mengajar, Rise teramat iri kepada pria paruh baya berkepala botak di bagian depan itu karena dia bisa bebas memakan apapun dan hanya mengejek orang-orang yang menghinanya dengan mulut penuh. Manusia diberkati dengan nafsu makan, tetapi Rise mati-matian tidak mengindahkan rasa lapar karena dia memang tidak diperbolehkan makan.
Sejak dulu, Erica selalu memaksa Rise untuk menjadi seorang vegetarian. Dia hanya memakan segala sesuatu yang berwarna hijau, berwarna cerah, dan terasa seperti rumput. Kudapan manis seperti kue tart, cupcake, serta makanan manis lainnya hanya didapatnya satu kali dalam setahun. Dari tahun ke tahun pola makan Rise makin buruk. Dia terlihat bak kerangka berjalan, hanya saja dilapisi tulang dan berparas cantik.
Rise mengetuk baki beberapa kali dengan garpu, berusaha memisahkan manisan buah peach yang 70% persennya berupa gula dari pandangannya. Berat badannya bisa bertambah setengah kilogram kalau dia makan lebih banyak dari yang telah diperhitungkan, maka dia memindahkan manisan itu ke atas baki milik gadis yang duduk di sampingnya, Megan.
“Ayolah, Rise. Mrs. Josephine tidak ada di sini. Aku tahu kau suka manisan”
Megan selalu memanggil Erica demikian. Sebagai tanda hormat, katanya.
Omong-omong, Megan adalah salah satu dari dua sahabat Rise. Dia selalu bersinar di mana pun dia berada. Tidak ada pengecualian untuk itu.
Pekan lalu, seluruh siswa kelas 11 melaksanakan turnamen olahraga. Hari itu hujan, lapangan becek, dan Megan merupakan salah satu pemain terkuat di sana. Dia terjatuh berkali-kali, mukanya cemong-cemong oleh lumpur. Bahkan, jersey sepak bola bewarna putih kebanggan sekolahnya tidak lagi terlihat gahar karena lusuhnya minta ampun, namun Megan tetap saja terlihat cantik ketika melontarkan senyum penuh rasa kemenangan ke arah Rise.
Rise hanya melontarkan balasan berupa senyuman serupa sambil membatin, dia cantik.
“Hari ini aku ada jadwal latihan menari. Kalau Ms. Ashley tahu berat badanku naik, bakal jadi bencana untukku,” jawab Rise memindahkan sayuran dari baki ke dalam mulut.
“Gila! Perawan tua itu mencacat berat badanmu tiap minggu?”
“Mengukur segala sesuatu di badanku juga.” Rise terkekeh, mulutnya terasa asam seperti habis menelan logam. “Tapi, tidak apa. Kalau tidak ada dia, aku pasti akan tenggelam dalam timbunan lemak seperti Mr. Brian.”
Entah bagian mana yang perlu ditertawakan, tapi Rise menerima sinyal bahwa pernyataannya barusan benar-benar terdengar seperti lelucon, sekaligus miris sekali. Dia menyebut segala tetek-bengek balet itu sebagai Erica dan Ambisinya yang Terkubur. Sejak kecil, mimpi Erica adalah menjadi seorang penari balet sebelum dia mengalami kecelakaan, sehingga terjadi kelainan pada pergelangan kakinya dan mau tidak mau harus mengubur impiannya dalam-dalam. Beberapa impiannya yang lain kian terperosok ke dalam jurang mengerikan ketika dia diharuskan menikah di usia muda dengan penerus keluarga Josephine.
Sampai pada akhirnya, Erica melahirkan seorang puteri yang sempurna. Setelah janin itu keluar dari rahimnya dan berubah menjadi sosok bayi yang luar biasa cantik serta menggemaskan, dia mulai memiliki pemikiran bengis—yang dianggapnya sebagai naluri alamiah seorang ibu demi masa depan anak yang gemilang. Sejak saat itu, dia bersungguh-sungguh dan berkeyakinan akan menjadikan Rise tumbuh bak manekin yang mampu mewujudkan segala impiannya—impian Erica—bagaimana pun caranya.
Rise telah menari balet jauh sebelum dia mengenal apa itu kasih sayang dari orangtua. Di masa lalu dia hanya diperkenalkan dengan teknik berputar, menjadi vegetarian dan bagaimana cara membuat tubuh jadi selentur mungkin. Tepat ketika duduk di bangku kelas tiga, Rise mempelajari bagaimana cara mengumpat dan menindas orang lain karena dia tidak tahu apa itu belas kasih kepada sesama manusia, maka dia melindas saja semuanya sampai rata dengan tanah dan hanya dia yang tersisa di muka bumi.
“Bodoh, seharusnya kau beri makan saja perempuan itu dengan uang. Kudengar beberapa penari yang tidak bagus bisa ikut perlombaan, walau pun berakhir kalah karena mereka mencekoki Ms. Ashley dengan banyak uang.”
“Dia akan mengadu. Uang ibuku jauh lebih banyak, kau tahu itu.”
Megan berdecap sambil mengerlingkan matanya. Dia kesal bukan main pada perawan tua yang tidak pernah dijamah laki-laki mana pun sebab kelewat tamak. Ms. Ashley amat terkenal karena dia berteman dengan ibu-ibu paling berpengaruh di kota tempatnya tinggal. Hanya saja, dia tidak tahu tentang segala rumor mengenainya yang membuat hampir seluruh siswa kelas tarinya menderita bulimia—atau mungkin dia tahu, tapi pura-pura tuli karena uang lebih penting daripada reputasi.
“Tapi, kau suka semua makanan yang tidak kau makan, Alarise. Ayolah, aku harus mengajakmu pergi makan pizza atau lasagna lain kali,” ujar Megan mengusap bagian belakang kepala Rise, layaknya seorang ibu. “Aku bisa membicarakan ini kepada Mrs. Josephine. Kau sempat makan banyak seperti babi dan tetap saja terlihat sama.”
“Kalian ini sesama wanita jalang jangan terlalu bertingkah, mengerti?”
Lagi-lagi, Rise tertawa.
“Hei, aku ini sahabatmu!”