Broken Throne

Noura Publishing
Chapter #3

Seperti Biasa...

Seperti biasa, Julian menghadiahinya buku.

Sama seperti setahun sebelumnya, juga dua tahun sebelumnya, dan pada tiap hari raya atau acara apa saja di sela-sela ulang tahun sang adik perempuan. Coriane memiliki rak khusus untuk memuat “kado” Julian. Sebagian merupakan hadiah sungguhan, sedangkan sebagian yang lain diserahkan semata-mata untuk mengosongkan ruang di perpustakaan yang disebutnya sebagai kamar tidur. Di dalam sana, buku bertumpuk-tumpuk teramat tinggi dan goyah sampai-sampai kucing sekalipun kesulitan mengarungi labirin tersebut. Topik buku beragam, mulai dari kisah petualangan perambah Prairie hingga kumpulan puisi mengenai kehidupan menjemukan di istana yang mereka berdua hindari dengan susah payah. Bagus untuk dijadikan kayu bakar, kata Coriane tiap kali Julian meninggalkan satu lagi volume membosankan. Suatu kali, pada ulang tahunnya yang kedua belas, Julian memberikan naskah kuno dalam bahasa yang tidak bisa Coriane baca. Sebaliknya, Coriane mengasumsikan bahwa Julian pun hanya pura-pura memahami bahasa itu.

Walaupun tidak menyukai kebanyakan cerita pemberian Julian, Coriane menyimpan koleksi yang kian hari kian bertambah di rak-rak yang rapi, diurutkan berdasarkan abjad, punggungnya menghadap ke depan sehingga menampakkan judul-judul pada sampul kulit. Sebagian besar terus tak terjamah, tak terbuka, tak terbaca, sebentuk tragedi yang menurut Julian tak terperikan. Tidak ada yang lebih mengenaskan daripada cerita yang tidak tersampaikan. Meski demikian, Coriane menyimpan semuanya baik-baik, bebas dari debu, dilap bersih, huruf-huruf yang diterakan dengan cap emas berkilauan di bawah cahaya buram musim panas atau dalam suasana kelabu musim dingin. Dari Julian tertulis pada masing-masing buku dan kata-kata itulah yang paling Coriane muliakan. Hanya hadiah sungguhan dari Julian-lah yang lebih dia cintai: manual dan buku panduan bersampul plastik, yang diselipkan di sela-sela genealogi atau ensiklopedia. Segelintir bertakhta di tempat tidurnya, disembunyikan baik-baik di bawah kasur, untuk dikeluarkan pada malam hari ketika Coriane memiliki waktu untuk melahap skema teknis dan ilmu mesin. Cara merakit, merombak, dan merawat mesin truk, pesawat jet, alat telegrafi, dan bahkan bohlam serta kompor.

Ayahnya tidak setuju, seperti biasa. Anak perempuan Perak dari keluarga Klan Terkemuka tidak boleh berjari kotor gara-gara oli mesin, berkuku pecah-pecah gara-gara perkakas “pinjaman”, atau bermata semerah darah karena terlalu sering bergadang untuk menekuri tulisan-tulisan yang tak pantas. Namun, Harrus Jacos melupakan kecamannya tiap kali layar video di ruang duduk griya mengalami korsleting sehingga memercikkan listrik dan transmisinya kabur. Betulkan, Cori, be­tul­kan. Coriane menurut, senantiasa berharap semoga kali itu sang ayah akan memberinya lampu hijau. Namun, aksi utak-atik Coriane ujung-ujungnya selalu dicemooh beberapa hari berselang, sedangkan seluruh jasanya terlupakan begitu saja.

Dia bersyukur sang ayah sedang pergi ke ibu kota untuk membantu paman mereka, kepala Klan Jacos. Dengan demikian, dia bisa melewatkan ulang tahun bersama orang-orang yang dia sayangi, yaitu kakaknya Julian dan Sara Skonos, yang datang secara khusus untuk menghadiri acara itu. Makin hari makin cantik saja, pikir Coriane sembari memperhatikan sahabatnya. Kali terakhir mereka bertemu berbulan-bulan silam, ketika Sara menginjak usia lima belas dan pindah secara permanen ke Istana Kerajaan. Belum lama, sebenarnya, tetapi gadis itu sudah tampak berbeda. Sara terkesan lebih tajam, berkat tulang pipi yang menonjol di bawah kulit yang entah bagaimana lebih pucat dari semula, seakan warnanya telah terkuras. Mata kelabunya, yang dulu seterang bintang, terkesan mendung. Namun, senyumnya muncul secara spontan, sebagaimana biasa, setiap kali dia berada di dekat anak-anak keluarga Jacos. Di dekat Julian, senyum dari lubuk hati, Coriane mengerti. Kakaknya juga sama, menyengir lebar sambil mempertahankan jarak yang terlampau jauh dari Sara. Pemuda mana pun yang tidak tertarik tidak akan repot-repot melakukan itu. Julian amat sadar akan gerakannya sendiri, sedangkan Coriane juga menyadari gerakan sang kakak. Pada usia tujuh belas, Julian sudah cukup umur untuk meminang dan, Coriane curiga, pinangan niscaya akan diajukan beberapa bulan mendatang.

Julian tidak repot-repot membungkus hadiah dengan kertas kado sebab hadiah itu sendiri sudah indah. Buku bersampul kulit, bergaris-garis kuning keemasan pucat yang selaras dengan warna Klan Jacos, dan bertatahkan Mahkota Api Norta di sampul depan. Buku itu tidak berjudul, sedangkan Coriane bisa menebak bahwa bukan panduan rahasia yang tersimpan di dalamnya. Dia merengut sedikit.

“Bukalah, Cori,” kata Julian, menyetop sang adik sebelum sempat melemparkan buku tersebut ke setumpuk kecil hadiah lain yang telah diterimanya. Semua hadiah itu adalah sindiran terselubung: sarung tangan untuk menyembunyikan tangan “rakyat jelata”, gaun tidak praktis untuk acara di istana yang tidak ingin dikunjunginya, dan sekotak gula-gula yang ayahnya larang untuk dia makan. Kotak itu sudah terbuka dan isinya niscaya sudah habis saat makan malam nanti.

Coriane memenuhi permintaan sang kakak dan membuka buku tersebut, yang ternyata kosong. Lembar-lembarnya yang berwarna krem masih polos. Coriane mengernyitkan hidung, tidak repot-repot berlagak sebagai adik yang berterima kasih. Julian tidak membutuhkan dusta semacam itu dan, kalaupun Coriane berbohong, Julian pasti tahu. Terlebih lagi, di ruangan ini tidak ada siapa-siapa yang akan menegurnya karena tidak sopan. Ibu sudah meninggal, Ayah sedang pergi, dan Sepupu Jessamine ma­sih tidur pulas. Hanya Julian, Coriane, dan Sara yang berada di ruang duduk, bagaikan tiga butir manik yang berkelotakan ke sana kemari dalam Griya Jacos yang menyerupai stoples berdebu. Jendela-jendela pelengkung menghadap kebun mawar yang dulu rapi, tetapi kini berkelindan liar karena sudah satu dasawarsa tidak terjamah oleh penghijau. Lantai perlu disapu, sedangkan draperi keemasan menjadi abu-abu karena diselubungi debu dan mungkin juga sarang laba-laba. Bahkan, lukisan di atas perapian marmer berjelaga sudah kehilangan bingkainya yang bersepuh emas karena telah lama dijual. Pria yang menatap dari kanvas telanjang adalah Janus Jacos, kakek Coriane dan Julian, yang pasti akan nelangsa andaikan melihat kondisi keluarganya saat ini. Keluarga bangsawan malang, yang menukar nama dan tradisi lama demi bertahan hidup, kian tahun kian mengencangkan ikat pinggang.

Julian malah tertawa, lagi-lagi seperti biasa. Kasih sayang yang diwarnai kejengkelan, Coriane tahu. Seperti itulah Julian lazimnya memperlakukan sang saudari, yang dua tahun lebih muda. Dia selalu sigap mengingatkan Coriane bahwa dia lebih tua dan lebih pandai. Dengan lembut, tentu saja. Seolah sikap yang lembut bisa memperlunak lagaknya yang superior.

“Ini untuk kau tulisi,” desak Julian sambil mengelus halaman buku dengan jemarinya yang lentik. “Tentang pikiranmu, aktivitasmu sehari-hari.”

“Aku tahu buku harian itu apa,” timpal Coriane sambil menutup jurnal tersebut dengan kasar. Julian tidak keberatan, bahkan tidak tersinggung. Julian mengenal Coriane lebih daripada siapa pun. Bahkan sewaktu aku salah bicara. “Lagi pula, hari-hariku tidak pantas diabadikan.”

“Omong kosong. Kau lumayan menarik asalkan mencoba.”

Coriane menyeringai. “Julian, leluconmu makin lucu. Sudahkah kau menemukan buku yang mengajarkan selera humor?” Matanya melirik Sara. “Jangan-jangan bukan buku, tapi seseorang?”

Pipi Julian memucat karena malu, tetapi Sara santai-santai saja. “Aku ini penyembuh, bukan dukun,” katanya dengan suara merdu.

Tawa mereka berpadu dan berkumandang di ruangan, mengisi kehampaan griya itu barang sekejap. Di pojok, jam tua yang berdentang mengumumkan momen petaka bagi Coriane. Lebih tepatnya, menandakan bahwa Sepupu Jessamine akan tiba tidak lama lagi.

Julian berdiri cepat-cepat, meregangkan sosok kurusnya yang tengah mengalami masa transisi dari remaja menjadi dewasa. Dia masih bisa tumbuh, ke atas dan ke samping. Sebaliknya, Coriane sudah bertahun-tahun tidak bertambah tinggi dan sepertinya akan terus begitu. Gadis itu biasa-biasa saja dalam segala hal, mulai dari mata birunya yang pucat hingga rambut cokelat kemerahan lepek yang urung memanjang melampaui pundaknya.

“Kau tidak menginginkan ini, ‘kan?” tukas Julian sambil menghampiri sang adik. Dia menyambar beberapa butir gula-gula bening, alhasil menuai imbalan berupa sabetan tangan. Per­setan dengan etiket. Permen itu milikku. “Hati-hati,” Julian memperingatkan. “Nanti kuberi tahu Jessamine.”

“Tidak perlu,” timpal sepupu mereka yang sudah sepuh. Suaranya melengking lirih dari ambang pintu yang berpilar-pilar. Coriane mendesis kesal sambil memejamkan mata, berusaha untuk mengusir Jessamine Jacos dengan kekuatan tekad. Percuma, tentu saja. Aku bukan pembisik. Cuma penyanyi. Walaupun Coriane bisa saja mempraktikkan kemampuannya yang pas-pasan kepada Jessamine, justru dia sendiri yang akan rugi. Jessamine sudah tua, tetapi suara dan kemampuannya masih mumpuni, pun lebih gesit daripada Coriane. Kalau aku coba-coba menyetirnya, bisa-bisa aku dipaksa menggosok lantai sambil senyum-senyum.

Lihat selengkapnya