BROKENLIGHT

Lia Tjokro
Chapter #2

BAB 1: AKHIR PERAYAAN

1970

Keluarga itu hanya ingin berpiknik di sebuah dataran rumput di atas bukit berkarang pinggir laut, menikmati hari Minggu mereka, melepas penat, dan merayakan ulangtahun anak semata wayang mereka. Hanya itu. Sederhana, dan sungguh bukan alasan untuk sebuah tragedi.

Tapi saat ini satu keluarga itu berdiri, mata terbelalak, dan mulut ternganga melihat apa yang terjadi di antara karang-karang di bawah sana.

“Ya Tuhan … apa yang sedang terjadi?” bisik gemetar sang mama sementara tangannya memeluk erat bahu anak laki-lakinya.

“Kita harus lari. Harus. Ayo! Ini … ini … bukan urusan kita!” balas sang papa dengan suara tak kalah gemetarnya.

“Terlambat … ” bisik si anak. Mata anak itu lurus tak berkedip menatap ke bawah. Airmata mulai menggembung di ujung matanya. Bibirnya memucat dan keringat dingin bercucuran di keningnya.

“Mereka melihat kita! Mereka melihat kita!” sang mama berseru lirih dengan airmata yang mulai deras mengucur.

Keluarga itu hanya bisa berdiri, gemetar, mematung dalam ketakutan yang melumpuhkan mereka.

Awan gelap semakin rendah, hari semakin abu-abu, dan sebelum gelap menelan mereka yang mereka dengar hanyalah lolongan keras yang menggetarkan segenap karang-karang tepi laut dan mencabik-cabik sisa-sisa keberanian mereka. Lolongan itu begitu penuh amarah, lolongan yang seakan berasal dari ceruk terdalam palung neraka.

<<<>>>


30 MENIT SEBELUMNYA …

Matahari bersinar dengan segala gemerlapnya hari itu. Hangatnya lembut mengelus permukaan dedaunan hijau pohon-pohon ek dan akasia yang tumbuh subur di pertengahan musim semi itu. Sinar yang memberi hidup, memungkinkan segala proses yang diperlukan setiap tanaman untuk tetap hidup, berbunga, dan bertumbuh. 

Dedaunan pohon-pohon bergemerisik lembut tertiup angin sepoi-sepoi musim semi. Pepohonan itu berbaris tak beraturan di kiri-kanan sebuah jalan setapak bertanah lembab–jalan setapak yang menanjak naik menuju Bukit Rock Edge dari kota kecil Roseville beberapa kilometer di lembahnya. 

Jalan setapak selebar kira-kira satu setengah meter itu berkelok-kelok menuju puncak Rock Edge. Puncak yang berupa sebuah dataran rumput dengan bebatuan karang berukuran kecil dan sedang yang acak menandai berbagai titik di dataran itu. Dataran di mana hijau segar rumput begitu kontras dengan warna hitam karang-karang yang bertonjolan, seperti kuku-kuku monster yang mencuat keluar dari kedalaman bumi.

Lamat-lamat terdengar deburan ombak memecah batu karang karena Rock Edge adalah bukit yang berbatasan langsung dengan laut lepas di sisi utaranya. Rock Edge mendapatkan namanya karena itu, bukit gugusan karang yang berada tepat di tepi laut, dengan sisi menghadap laut yang curam berbatu, terjun beratus meter ke bawah, ke air laut biru tua kehijau-hijauan berbuih-buih putih.

Dataran rumput, debur ombak lamat-lamat, dan angin laut yang bertiup lembut menjadikan Rock Edge tempat populer untuk keluarga-keluarga dari kota Roseville untuk menggelar piknik di musim semi dan musim panas. Mereka biasanya akan naik mobil atau sepeda menuju sebuah tempat parkir kecil di kaki bukit, lalu melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki kira-kira 2-3 kilometer menuju dataran rumput. 

Namun hari itu tidak biasa. Tidak banyak keluarga yang berpiknik di dataran rumput Rock Edge walaupun hari itu hari Minggu dan cuaca bagus. Hanya ada satu keluarga kecil yang menggelar tikar mereka untuk berpiknik.

Lihat selengkapnya