BROKENLIGHT

Lia Tjokro
Chapter #3

BAB 2: ORANG GAGAL

2023

Musim gugur ini adalah salah satu musim gugur paling berat bagi Nadine. Salah satu, karena banyak musim gugur-musim gugur lalu yang juga begitu berat baginya. Tapi sekali ini, sekali ini beda.

Musim gugur yang begitu abu-abu dengan daun-daun yang berguguran luruh ke tanah, menyerah pada kehendak alam karena ketidakmampuan mereka untuk bertahan dari gempuran dingin udara. Ia membenci daun-daun yang luruh itu, ia membenci kabut pagi dan hujan gerimis yang seakan tak pernah berhenti. Ia merindukan hangat matahari, hangat yang tidak akan ia dapat sampai beberapa bulan ke depan.

Tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya, ia bisa mencari hangat dalam pelukan Nenek Samantha. Neneknya, ibu dari Mama, yang selalu berbalut sweater rajut wol dengan motif-motif rajutan khas Natal di atasnya. Hangat dan harum lavender. 

Ia suka pergi ke rumah jompo tempat Nenek Samantha tinggal beberapa tahun terakhir, memeluknya, minum teh hangat, makan pai apel, dan berbincang mengenai segala hal penting dan tak penting. Hal-hal penting dan tak penting yang tak pernah mendapat tempat di jadwal sibuk Mama.

Tapi dua bulan lalu, tepat di awal musim gugur, Nenek Samantha meninggalkannya. Selama-lamanya. Serangan jantung.

Ia tidak ingat lagi bagaimana reaksinya ketika Mama memberitahunya mengenai kabar itu. 

Ia yakin ia tidak langsung menangis, itu datang beberapa menit kemudian. Ia hanya mematung, membeku, seperti batang pohon yang diterpa dingin. Otaknya memproses berita itu, awalnya hanya struktur kalimatnya. “Nenek meninggal, Nadine. Serangan jantung.” Kalimat Mama yang ringkas seperti biasa. Wajah Mama yang datar-datar saja. 

Ia tepekur, mengangguk-angguk, ia mengerti isi kalimat itu. Semakin kalimat itu meresap dalam proses semantik di otaknya, semakin ia sungguh-sungguh mengerti makna kalimat itu. Keabadian kehilangan itu. Hari-hari bersama Nenek yang sekarang menjadi kenangan masa lalu baginya. Permanen. Final. Saat itulah, air matanya mulai menggenang di ujung matanya, dan ia ambruk menangis tersedu-sedu. Duka yang menggulungnya bagai ombak, duka yang membuat bernapaspun sulit.

Anehnya, ia sedih tidak hanya karena Nenek meninggal, tapi sedih karena sekarang ia sendiri menghadapi Mama. Tidak ada dua telapak tangan kukuh milik Nenek Samantha yang akan menyangga punggungnya, menegakkannya, membantunya mencari kekuatan menghadapi Mama yang begitu brilian, keras, dan apapun maunya harus terlaksana.

Mengapa Mama tidak seperti Nenek? Bukankah mereka ibu dan anak kandung?

Pertanyaan yang selalu menghantuinya, menjadi misteri yang tak terpecahkan baginya.

Nenek yang hangat, dengan senyum yang selalu merekah, tawa renyah pada humor-humornya, masakan-masakannya yang selalu enak, selalu membuatnya kangen, selalu menenangkannya.

Mama? Mama adalah kutub berlawanan dari Nenek. 

Mama yang begitu sukses, insinyur top, sibuk, selalu menganalisis humornya apakah layak mendapatkan seulas senyum tipis, atau deheman serak saja. Mama yang benci dapur. Mama yang tawanya begitu jarang ia dengar, dan kalaupun ia tertawa, tawa itu terdengar seperti suara yang sudah ia latih lama untuk memastikan tawa itu terdengar sempurna–tidak terlalu keras, atau terlalu lembut, atau terlalu nyaring. 

Mama sering ribut dengan Nenek. Bagaimana dua kutub berlawanan bisa menyatu? Bukan begitu? 

Nadine menghela napas, mencoba mengusir Nenek dari benaknya sejenak. Bencana selanjutnya dari hidupnya ada di tangannya saat ini. 

Tangannya mulai meremas-remas kertas yang sedari tadi di genggaman tangannya menjadi segumpal sampah, lalu ia berpikir sejenak. Mungkinkah aku salah baca? pikirnya, ragu, lalu ia membuka gumpalan kertas itu, meluruskannya, dan membaca lagi dengan fokus penuh baris demi baris kalimat yang tercetak rapi di atasnya.

Lihat selengkapnya