Akhir malam itu adalah dirinya di kamarnya yang remang-remang tersinari cahaya lampu baca di samping ranjangnya, meringkuk di ranjang sambil memeluk lututnya, berbalut selimut untuk meredakan rasa dingin yang menyergap segenap rongga tubuhnya.
Nadine hanya melamun, ia gagal mengeluarkan pembelaan apapun di hadapan Mama, ia gagal membela diri sebagai orang gagal. Mama memutar tumitnya, memunggunginya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, memijat keningnya dalam duka lara karena harus menghadapi tragedi yang bernama Nadine. Tanpa berkata apapun, Mama bergegas menuju kamarnya, walau sebelum ia membuka pintu kamarnya, ia sempat bergumam tanpa menatap Nadine, “Kau makan malamlah sendiri. Aku tidak lapar.”
Nadine pun tidak lapar saat itu. Perutnya meronta saat ini, tapi ia tidak ingin makan. Bagaimana mungkin ia bisa sesukses Mama? Insinyur top di perusahaan elite yang ia bangun sendiri? Insinyur yang begitu sering masuk Top 10 Insinyur Paling Inspiratif, Top 10 Global Leader in Engineering, dan segala daftar-daftar bergengsi lain? Mama yang namanya tercetak di plakat emas di halaman depan bangunan balaikota terbaru, bangunan yang dinobatkan sebagai salah satu bangunan paling tahan gempa, paling hijau, paling efisien penggunaan energinya, di negeri ini? Mama yang menjadi insinyur utama perencanaan dan pembangunan bangunan mengagumkan itu.
Matanya lekat ke sebuah foto ukuran 2R di dalam frame hitam polos di atas meja kecil di samping ranjangnya. Cahaya lampu baca di samping frame membuat foto itu seperti sedang berada dalam rengkuhan cahaya lampu sorot.
Foto tua. Satu-satunya foto di mana keluarganya lengkap. Papa, Mama, dan dirinya. Ia berada dalam gendongan Papa, umurnya mungkin sekitar empat atau lima tahun saat itu. Mama membuat wajah lucu ke arah kamera, satu tangannya merengkuh mesra bahu Papa. Senyum kedua orangtuanya merekah begitu lebar saat itu. Di latar belakang adalah air terjun Niagara yang begitu indah, begitu masif, begitu mengagumkan. Satu-satunya liburan keluarga yang ia ingat.
“Papa …” bisiknya serak. Ia tahu pasti kalau Papa masih mengingatnya. Setiap tahun, ada kartu ucapan selamat ulangtahun dan deringan telpon untuknya dari Papa. Satu-dua akhir pekan dalam setahun, Papa akan datang, dan Mama selalu menghindari pertemuan dengan mantan suaminya itu. Papa akan mengajaknya nonton, makan malam, lalu mengantarnya pulang ke rumah Mama lagi.
Ia tidak ingat detail apa saja yang ia bicarakan dengan Papa saat Papa datang mengunjunginya. Yang pasti Papa tidak pernah bertanya mengenai Mama, atau Mama mengenai Papa. Mereka sekarang hanyalah dua orang asing yang kebetulan berbagi masa lalu, dan berbagi seorang anak, dirinya, Nadine.
Papa hanya bercerita dengan penuh semangat mengenai proyek menulis terbarunya, bagaimana novel yang sedang ia tulis akan menggetarkan kancah literasi sekali lagi, seperti dulu. Ia hanya diam, mendengarkan, dan sesekali mencoba memberi Papa update mengenai kabarnya juga.
Nadine menghela napas, matanya masih lekat di foto keluarganya. Satu hal ia sadari. Setelah mereka pulang dari liburan keluarga itu, Papa mendapat kabar kalau novel terbarunya gagal diakuisisi penerbit, dan Mama mendapatkan kesempatan seumur hidup untuk melanjutkan S2 teknik sipil ke sebuah universitas yang begitu bergengsi.
Papa yang novelis, yang sudah menulis karya novel trilogi sukses yang membuat namanya dikenal di kalangan literasi, namun dua novel terbarunya gagal di pasaran, dan novel ketiga gagal diakuisisi penerbit. Sementara Mama mulai menanjak sukses dengan karir insinyurnya. Mereka semakin sering bertengkar setelah itu.
Pertengkaran-pertengkaran yang semakin sering terjadi, dan semakin keras dan bengis segala kata yang keluar dari mulut keduanya. Lempar-melempar perabot rumah tangga menjadi hal biasa, dan lebih dari satu-dua kali polisi dipanggil tetangga karena kuatir dengan pertengkaran Papa Mama.
Nadine menjadi saksi bisu bagaimana dua orang yang awalnya saling mencintai, menjadi dua orang dengan jurang yang menganga di antara mereka– jurang yang dimulai dari retakan kecil, retakan yang selalu dianggap tidak ada, lalu semakin membesar, dan semakin sulit dianggap tidak ada.
Pada akhirnya, jurang itu menjadi tak mungkin terseberangi, tak mungkin terjembatani.
Kedua orangtuanya bercerai saat Nadine berumur 12. Nadine ingat kelegaan saat hakim mengetuk palu final perceraian itu. Drama selama setahun, pengadilan, pertengkaran, air mata, pengacara, rebutan hak asuhnya, akhirnya beres. Mama mendapatkan hak asuh eksklusifnya.
Papa keluar dari rumah mereka, dan pindah tinggal ke rumah warisan keluarganya sendiri. Papa datang dari keluarga kaya yang memiliki sebuah rumah mansion di kota lain, dua jam naik kereta dari sini. Kekayaan keluarganya yang sekarang membiayai hidup Papa. Setelah itu, tahun demi tahun adalah masa-masa di mana Mama menjadi seperti kerasukan dalam mengejar suksesnya, dan Papa semakin terobsesi dalam usahanya untuk mencetak bestseller lagi. Sementara Nadine? Nadine hanya hidup di latar.
Nadine menjulurkan tangannya, meraih frame foto itu dan meletakkannya dalam posisi permukaan di bawah. Ia tidak sanggup melihat foto itu lagi. Kebahagiaan di foto itu menamparnya saat ini.
Gadis itu lalu mengangguk pelan, terseok bangkit dari ringkukannya, dan duduk di atas ranjangnya. Anggukan kepalanya semakin mantap. Ia bangkit, menuju lemari pakaiannya, membuka lemari kukuh dari kayu ek itu. Matanya mencari-cari sesuatu, dan menemukannya di bawah tumpukan jaket-jaket musim dinginnya.