BROKENLIGHT

Lia Tjokro
Chapter #5

BAB 4: TEMPAT SEGALA YANG INDAH

Perjalanan kereta api dari Northridge, tempatnya tinggal dengan Mama, ke Roseville, tempat papa, memakan waktu dua jam. Nadine memilih membeli tiket kereta cepat yang hanya berhenti di 2 stasiun, bukan kereta biasa yang berhenti di 15 stasiun.

Ia duduk di kursi samping jendela, tas kanvasnya ia letakkan di rak bagasi di atas kepalanya. Kereta sepi hari itu, mungkin karena Sabtu pagi. 

Satu gerbong kereta itu mungkin hanya seperempatnya terisi. Satu keluarga dengan dua anak balita yang sibuk membuka sarapan bekal mereka, sepasang kakek nenek yang berbisik-bisik berbincang sambil menunjuk-nunjuk ke luar, seorang wanita paruh baya dengan seekor anjing labrador hitam–anjing penuntunnya–duduk tenang di kakinya, dan dua laki-laki muda yang sibuk memainkan games di gawai mereka sambil saling mengomentari dan tersenyum lebar. 

Nadine tidak melanjutkan observasinya dan duduk di kursinya sambil melempar pandangannya ke luar kereta. Peron stasiun tampak sepi, lantai semennya basah oleh hujan gerimis, langit musim gugur abu-abu berawan, dedaunan pohon-pohon birch di seberang sana sudah habis berguguran, meninggalkan ranting dan batang-batang kurus dan kering.

Peluit kereta berbunyi nyaring, bersamaan dengan pintu-pintu kereta yang otomatis bergerak tertutup. Suara lengkingan peluit yang bagaikan teriakan raksasa mesin yang mengumumkan kalau kereta siap berangkat. 

Gemuruh terdengar, dan kereta bergerak menjauh dari stasiun, awalnya perlahan-lahan, merayap, memberi kesempatan dua laki-laki muda di seberang lorong yang tadi sibuk main games di gawai untuk melambaikan tangan pada sekelompok orang di luar sana. Keluarga dengan dua balita tampak heboh karena dua balita tersebut kini berebutan untuk mencapai jendela kereta untuk melihat gerak kereta lebih jelas.

Nadine tidak dapat menahan senyum kecil melihat dua balita itu yang ia yakin baru hari ini pertama kali naik kereta api. 

Gerak kereta semakin cepat keluar dari area stasiun, dan pikirannya kembali ke hidupnya sendiri. Ia tidak yakin apa yang ingin ia cari di Roseville, di kediaman Papa. Papa bukanlah orang yang dekat dengannya, dan proyek menulisnya, entah yang mana sekarang, selalu lebih menarik dari putri kandungnya sendiri. Tapi Nadine setidaknya ingin mencoba mengenal Papa lebih jauh. 

Setelah Papa bercerai dengan Mama, hanya dua kali Nadine mampir ke kediaman Papa. Satu kali untuk acara ulang tahun Papa, ia diantar Nenek Samantha ke sana naik kereta. Nenek baik hati itu tetap menyayangi mantan menantunya itu, dan berkeras Nadine sebagai anak harus tetap memelihara silaturahmi dengan ayahnya. 

Kedua kali, yang juga terakhir kali ia ke Roseville, ia dibawa Papa ke sana. Mama harus berangkat selama dua minggu ke Eropa untuk urusan proyek-proyeknya, Nenek Samantha menemaninya tinggal di rumah Mama, kecuali satu akhir pekan, di mana Nenek membiarkan Papa membawanya ke Roseville. Umurnya mungkin 14 atau 15 saat itu. 

Yang ia ingat cuma satu: Papa tinggal di rumah warisan keluarganya di sana, rumah besar yang memenuhi kategori sebagai sebuah mansion. Ia tahu, di balik punggungnya, Mama marah besar kepada Nenek karena membiarkan Papa membawanya ke Roseville tanpa Nenek ada di sana juga. Mama takut mantan suaminya itu akan menculik putrinya. 

Selama berminggu-minggu setelah insiden itu, Mama melarang Nenek mengunjunginya di rumah. Itu adalah satu momen, dari banyak momen-momen lain, saat ia menyadari Mama bukanlah orang yang terbiasa untuk tidak mendapat apa maunya, dengan jalannya. 

Lihat selengkapnya