Nadine menghela napas dalam-dalam. Ia tahu di mana rumah Papa. Rumah Peter Vargari, sang novelis. Bus nomor 12 dari depan stasiun, sepuluh halte kemudian, di Halte Nomor B2767 – Rock Edge, ia akan tiba di gerbang depan rumah mansion itu.
Papa menamai rumahnya sebagai: Mansion Vargari. Rumah warisan keluarga Vargari. Kakek buyut Papa adalah tuan tanah kaya raya yang dulu memiliki perkebunan apel dan pir di area-area sekitar Roseville. Kakek buyutnya itulah yang membangun Mansion Vargari, dan turun-temurun ditinggali keluarga Vargari sampai orangtua Papa–kakek nenek Nadine–bercerai.
Neneknya dari pihak Papa pindah ikut suami barunya ke kota San Francisco yang jauh di sebelah barat negara ini. Papa yang masih balita ikut dengan sang bunda dan tidak pernah kembali ke Roseville sampai ia dewasa.
Ranselnya menggantung di punggungnya, tangan kanannya mencengkeram tas kanvasnya, dan Nadine berjalan keluar area stasiun setelah turun dari kereta.
Roseville sepi di pagi musim gugur itu. Halte bus tujuannya kosong, tidak ada penumpang yang menunggu. Penumpang-penumpang yang berada di kereta yang sama dengannya berpencaran, ada yang dijemput, ada yang sudah menyiapkan mobil sewaan, ada yang akan melanjutkan perjalanan ke kota lain setelah transit sebentar di Roseville.
Bangunan stasiun didominasi warna merah bata dari bata yang digunakan untuk membangunnya, sementara hitam pekat mendominasi warna kisi-kisi jendela-jendela stasiun yang bergaya Victorian era. Ikonik dan unik. Sebuah prasasti marmer kecil diletakkan di dinding samping gerbang masuk stasiun, berukirkan “1920” dengan tinta emas. Tahun berdirinya stasiun.
Nadine berjalan menuju sebuah kedai kopi mungil di samping stasiun, namun kedai itu tutup, sehingga gadis itu memutuskan melanjutkan jalan kakinya menuju halte bus di seberang jalan.
Saat tiba di halte, ia meletakkan tas kanvasnya di samping kakinya, memeluk ranselnya, dan duduk di bangku plastik merah terang. Dingin dan keras bangku itu cukup membuat pantatnya tidak nyaman. Pandangannya ia lemparkan ke segala penjuru, membiasakan dirinya dengan Roseville.
Stasiun kereta api Roseville berdiri di tengah-tengah kota, diapit supermarket, toko pakaian, toko mainan, gereja, apotek, bank, kantor pos, klinik kesehatan, beberapa restoran cepat saji, satu-dua pub, beberapa kafe-kafe kopi, dan bioskop kecil. Penduduk kota itu tampaknya juga sudah sangat terbiasa dengan suara kereta lewat.
Satu hal unik bagi Nadine – yang berasal dari kota yang jauh lebih besar – adalah tidak adanya bangunan bertingkat tinggi di Roseville. Bioskop dua lantai, klinik dua lantai, tapi yang paling tinggi adalah bangunan bank, tiga lantai. Roseville seakan ada di dunia paralel yang sungguh berbeda dengan dunia tempat Nadine hidup biasanya. Dunia yang sekarang ia hindari karena ada Mama di sana.
Waktu seakan berjalan lebih lambat di Roseville. Tidak ada orang yang bergegas ke sana atau ke mari, tidak ada jalanan macet atau klaksonan kendaraan. Toko-toko sepi tapi masih hidup.
Bukit-bukit yang mengelilingi Roseville adalah hal lain yang sangat menarik bagi Nadine. Bukit-bukit hijau yang berjajar-jajar tak beraturan, bagaikan tangan-tangan besar yang merengkuh Roseville tengah-tengahnya. Bukit-bukit itu sebenarnya berfungsi seperti pelindung bagi Roseville, karena di balik bukit-bukit itu, di lembahnya yang sebelah sana, adalah pantai karang dan lautan. Deburan ombaknya bisa terdengar jelas sampai sini. Salah satu bukit itu, yang paling besar dan tinggi di arah utara dari stasiun, adalah Bukit Rock Edge. Mansion Vargari ada di dekat kaki bukit itu.
Satu bus tiba di halte itu, dan Nadine berusaha keluar dari lamunan otaknya yang lelah. Bus elektrik berwarna merah kuning itu menunjukkan nomor 12 di jendela depan atasnya.
Bus itu berhenti, seorang pemuda berlarian dari belakang Nadine dan melompat masuk ke dalam bus itu, dan seketika Nadine tersentak. Nomor 12. Busnya.