BROKENLIGHT

Lia Tjokro
Chapter #7

BAB 6: RUMAH DAN PENGHUNI-PENGHUNINYA

Mansion Vargari muncul dari balik liukan terakhir jalan setapak. 

Rumah megah bertingkat dua itu bergaya Victorian, dengan jendela-jendela besar, cat yang didominasi warna putih untuk bangunannya dan hitam untuk kisi-kisi jendela. 

Pagar besi setinggi kira-kira dua meter, berukir-ukir, berwarna hitam pekat memberi batas solid antara apa yang di luar dan apa yang di dalam. Di halaman depan rumah itu, ada taman yang luas dengan air mancur di tengah-tengahnya. Taman yang dibagi-bagi dalam beberapa zona tanaman, ada zona tanaman bunga yang sudah rontok habis, zona tanaman evergreen yang masih hijau di musim gugur, dan zona tanaman herbal. Nadine pernah memetik mint, rosemary, dan lavender di sana. Mint segar ia masukkan ke tehnya, rosemary dan lavender ia keringkan dan bawa pulang untuk Nenek.

Jalan setapak yang meliuk menuju rumah itu berlanjut menjadi jalanan kerikil di balik gerbang, membentuk jalur lingkaran dari gerbang dan kembali ke gerbang lagi–jalur lingkaran yang memotong taman, dan di tengah-tengah lingkaran itu adalah sebuah kolam kecil dengan patung marmer dua malaikat bersayap besar yang sedang menuang air dari dalam kendi mereka ke dalam kolam. 

Di samping gerbang bagian dalam, beberapa meter di sebelah kiri, ada sebuah pos penjaga yang sudah lumayan kumuh dirambati tanaman rambat. Pos jaga itu hanya sebuah bangunan beton seluas kira-kira 3x3 meter dengan dua jendela besar tanpa penutup. Tidak ada penjaga di dalamnya. Tepat di seberang gerbang di sebelah sana adalah teras rumah papanya itu. Teras luas dengan tiang-tiang kayu ek yang masif.

Nadine merasa sedikit lebih baik. Rumah Papa masih sama seperti yang ia lihat bertahun-tahun lalu. Taman menjadi lebih rapi dan teratur zonanya, hanya itu perbedaan yang bisa ia tangkap. Mungkin Papa menggaji tukang kebun yang baru – walau ia sebenarnya tidak yakin apakah Papa memiliki tukang kebun bertahun-tahun lalu. 

Jari Nadine menekan tombol putih bel rumah yang terletak di sebelah kanan gerbang. Bel yang tersambung dengan intercom sehingga orang di dalam bisa berbicara dengannya, dan ia bisa menjawab.

Ia harus menunggu beberapa saat sebelum suara berdengung lembut terdengar dari intercom, diikuti bunyi gemerisik statik, lalu,”Ya? Kediaman Vargari di sini!” suara seorang wanita terdengar.

Nadine menekan tombol di intercom untuk menjawab. “Halo! Ini Nadine. Nadine Vargari! Boleh aku masuk?” ia samar-samar mengenal suara wanita itu dari bertahun-tahun lalu ketika ia terakhir ke mari.

Wanita itu terdiam sesaat seakan mencoba mengingat, lalu, “Nona Nadine? Oh! Ya ampun! Tentu saja! Masuk!” wanita itu setengah berteriak diikuti suara kunci gerbang dibuka dan gerbang mulai bergerak terbuka ke arah dalam, terbuka untuknya.

Nadine tersenyum. “Iya! Ini aku … dan kau … Tess, bukan? Oh, gerbang sudah terbuka penuh! Aku masuk sekarang!”

Dengan langkah-langkah panjang setengah berlari, Nadine masuk ke dalam area rumah megah itu, hatinya lebih ringan mendengar suara Tess, wanita pengurus rumah Papa. 

Tess adalah juru masak, sekaligus koordinator segala staf bersih-bersih di rumah Vargari. Kepala urusan rumah tangga, begitu nama pekerjaan resminya. Tess baru bekerja beberapa bulan di rumah Papa saat terakhir Nadine ke sini, bertahun-tahun lalu. Dari memori yang berhasil ia kais mengenai Tess, ia menyukai Tess. Tess baik, begitu yang ia ingat.

Seorang wanita paruh baya bertubuh kurus mungil dan sedikit lebih pendek dari Nadine sudah menantinya di teras rumah. Tess.

Tess mengenakan kaus wol putih dipadu kardigan rajut bunga-bunga ungu dan pink, rok lebar ungu tua selutut, dan sepatu ballerina hitam dengan pita keemasan. Tubuh kurusnya seakan tenggelam dalam balutan kaus wol dan kardigannya yang sepertinya sedikit kebesaran ukurannya. Seuntai kalung perak panjang dengan liontin emas berbentuk malaikat dengan sayap terbentang cukup menarik fokus perhatian Nadine.

Tess mengangguk-anggguk antusias, mata cokelat mudanya bersinar ramah. Rambutnya yang ikal tebal berwarna cokelat tua sepipinya disisir dengan belahan rapi di tengah, dan kedua telapak tangannya saling meremas dalam pertautan senang. 

“Nona Nadine …” Tess melangkah mendekat, mengangguk-angguk ramah. “Aku tidak tahu kau akan datang. Tuan Vargari tidak memberitahuku!” Tess berucap sambil menepuk bahu Nadine.

“Aku tidak memberitahu Papa kalau aku akan ke sini,” balas Nadine, ia bisa mencium lamat-lamat aroma parfum lavender yang hangat menguar dari tubuh Tess. 

Lihat selengkapnya