“Nadine?” suara Papa memanggilnya.
Nadine gelagapan dan buru-buru menjawab, “Tidak … tidak ada. Kita tidak ada janjian …”
Ekspresi wajah Papa berubah, dan sekarang pria itu tersenyum, cukup lebar sehingga gigi-geliginya yang besar-besar dan kecokelatan karena noda kopi terpampang jelas. Setidaknya senyum itu bisa menenangkan Nadine walau sedikit.
Lagu You Are My Sunshine berhenti beralun, tidak terdengar apa-apa lagi dari arah dapur.
“Aku cuma tidak mau ribut dengan mamamu itu! Wanita ratu drama itu akan membuat hidupku susah kalau kamu ke sini! Seperti dulu!” ucap Papa sambil terkekeh, suaranya serak dan dari jarak dekat Nadine bisa melihat jelas betapa kurusnya Papa. Tulang pipinya, tulang rahangnya, semua bertonjolan karena lemak-lemak yang dulu menutupinya sekarang telah menipis.
“Aku sudah bilang ke Mama kalau aku ke sini,” balas Nadine.
Mata biru papa yang cekung membulat kaget. “Dan ia mengizinkanmu?”
“Papa, aku sudah dewasa. Aku bisa memutuskan sendiri mau ke mana,” kalimat itu mengalir lancar, dan anehnya seperti kalimat yang sudah lama ia latih di benaknya.
“Kau ribut dengan mamamu?” Papa menelengkan kepalanya, menyelidik Nadine.
Nadine berpikir sejenak, menghela napas, dan menggeleng. “Bukan ribut sebenarnya. Aku gagal berkali-kali dalam aplikasi S2-ku … dan Mama …”
“Dan ia menjadi seperti orang kerasukan yang ngamuk tidak karuan? Wanita itu sangat buruk dalam hal menerima kegagalan orang lain,” Papa menyambar, melanjutkan kalimat Nadine yang belum selesai.
Anggukan mantap di akhir kalimat pria itu meyakinkan Nadine kalau Papa mengucapkan itu benar-benar dari pengalamannya.
Nadine menunduk. Ia tidak mau menjelekkan Mama di hadapan Papa, seperti ia mencoba untuk tidak menjelekkan Papa di hadapan Mama. Ia tidak bisa. Ia tidak tega. Ia membenci dirinya sendiri kalau ia sampai melakukan itu. Entah mengapa.
Suara derak cangkir beradu dengan nampan aluminum terdengar, dan Nadine perlahan menghela napas lega melihat Tess memasuki ruang tamu membawa nampan dengan teh dan kudapan.
Kepulan asap panas teh terlihat dan wangi pai apel kayumanis menyerbu hidung Nadine, dan perutnya mulai meronta lagi.
“Tuan Vargari, apakah Tuan mau teh dan pai apel juga? Pai apelnya masih hangat. Aku buat tadi pagi. Mau, Tuan?” Tess bertanya sambil menata sepiring pai apel dan teh untuk Nadine di atas meja kayu di tengah ruangan.
Papa tercenung, jelas pikirannya sedang tidak di ruangan itu. “Tidak, tidak mau,” jawabnya sambil mengibaskan tangannya.