Nadine bernyanyi, awalnya ragu dan aneh karena seumur hidup ia tidak pernah diajak nyanyi dalam konteks seperti ini, oleh satpam rumah papanya. Suaranya serak dan nadanya fals, tapi tidak ada yang peduli.
Tess bernyanyi riang, dan Tom memukul-mukul meja dengan telapak tangannya mengikuti irama lagu. Tess harus berkali-kali mengingatkan pria itu kalau ia tidak boleh terlalu banyak membuat keriuhan yang bisa mengganggu Tuan Vargari dalam menulis.
Mereka bernyanyi tiga kali lagu yang sama, sebelum akhirnya Tess mengingatkan Tom untuk kembali ke pos jaganya. Tom tersenyum dan mengangguk, lalu berbalik ke Nadine. “Nadine, senang bertemu denganmu!” tatapan Tom untuk sesaat berhenti di Nadine, mata biru itu membesar seolah sedang menyelidiknya, dan Nadine merasakan sentakan aneh di hatinya. Sentakan yang lebih tepat disebut sebagai merinding. Keriangan Tom menjadi kelam, dan pria itu nanar menatapnya sebelum berbalik dan keluar dari pintu dapur menuju halaman belakang.
Rasa merinding perlahan menghilang, namun Nadine masih tercenung. Ia tidak yakin apa, tapi Tom sangat … aneh. Nadine tidak bisa menjabarkan dengan penjelasan yang runut akan mengapa ia merasakan keanehan itu.
“Tom baik, ia bisa menjalankan tugasnya dengan baik kalau diberi petunjuk yang jelas,” Tess mengagetkan Nadine, dan ketika Nadine berbalik ke arah Tess yang berdiri di sampingnya, matanya bersirobok dengan mata Tess yang bersinar penuh keyakinan.
“Ia sepertinya unik, Tess,” senyum Nadine, meraih cangkir tehnya dan meneguk teh yang sudah mulai dingin.
“Ia … ia unik. Kau benar. Tapi ia bisa bekerja dengan baik. Aku yang merekomendasikan dirinya ke Tuan Vargari, dan Tuan Vargari setuju,” Tess mengangguk pasti. “Tuan Vargari menyerahkan semua urusan seperti ini ke aku, ia hanya sibuk menulis,” lanjut Tess dengan dagu terangkat sedikit untuk mendukung kepercayaan dirinya.
Nadine yakin sekarang kalau Tess menyukai Tom. Tatapannya ke Tom yang selalu begitu lembut dan sabar adalah tanda yang tidak bisa disembunyikan begitu saja. Tom spesial untuk Tess, dan Nadine bisa membaca itu.
“Apakah You Are My Sunshine adalah satu-satunya lagu favoritnya?” Nadine masih tersenyum lalu menyuap sepotong pai apel ke mulutnya. Paras Tess menjadi semakin serius, dan wanita itu menjawab,”Ya. You Are My Sunshine satu-satunya lagu favoritnya. Karena ia … ia …” suara Tess bergetar, dan Nadine menyadari keseriusan Tess saat ini.
Tiba-tiba telepon berdering, dan Tess gelagapan sebelum bergegas mengangkat telepon di ujung kanan ruangan dapur itu.
Sementara Nadine menghela napas, dan rasa merinding yang ia rasakan ketika Tom menatapnya tadi kembali menghantuinya.
Mengapa ia merinding? Tom lucu dan ramah, tapi nanar tatapannya tadi … cukup membuat bulu kuduk Nadine berdiri. Perubahan yang cukup drastis dari keramahan khas anak-anak, ke nanar tatapan yang membuatnya merasa seperti anak domba yang sedang diintai serigala–agaknya itulah yang membuatnya merinding.
Tess selesai berbicara di telpon, dan mendekat lagi ke Nadine. Wajahnya lebih tenang sekarang, sambil tersenyum Tess berkata,”Kalau kau sudah selesai makan dan minum, ayo … aku antar ke kamarmu!”
Tulang-tulang di tubuh Nadine terasa kaku dan pegal dan ia tahu kalau ia butuh istirahat sejenak. Cepat-cepat ia menghabiskan pai apel dan tehnya, lalu bangkit. Tess mengangguk puas. “Ayo ikut aku!” pintanya.
Mereka berjalan menuju koridor, ke ruang tamu yang luas lagi di mana Nadine meraih tas kanvas dan ranselnya, lalu mereka naik tangga ke lantai dua rumah itu.