Nadine tidak punya pilihan selain mengangguk pelan. Ia tidak mau berdebat dengan Tess. Tess berhak mempercayai apa yang mau ia percayai, seperti ia berhak tidak mempercayai apa yang tidak ia percayai.
Mata Nadine kini terpaku pada satu lukisan besar, hitam putih seperti lukisan dengan medium pensil arang, berukuran setidaknya 70cm x 70cm, tergantung di dinding di kepala ranjang Tess.
Lukisan seorang malaikat sedang berlutut, kepalanya tertunduk dalam, rambut hitam yang awut-awutan, sayap besar hitam yang terkulai, tubuh kekar tegap, kedua lengannya tertumpu ke tanah, dan sebilah pedang besar tergeletak tak jauh dari tangan kanannya.
Entah mengapa, hati Nadine merasa dingin miris melihat lukisan itu. Siapapun pelukisnya, ia sudah sukses menyampaikan sebuah kepahitan yang terlukis dengan demikian baik.
“Indah dan sedih ya … lukisan itu. Aku ingin menangis setiap kali melihatnya. Lukisan itu kudapatkan dari Tom sebagai tanda terima kasih karena aku sudah membantunya mendapatkan pekerjaan di rumah ini. Lucas, anaknya, yang melukis. Kata Tom, judul lukisan itu adalah: Malaikat yang Kalah.” Tess sudah berdiri di sampingnya.
Nadine masih terpaku pada lukisan hitam putih itu. Malaikat yang kalah, dan hatinya teriris pada judul lukisan yang berlari di benaknya itu.
“Ada semacam puisi yang tertulis di balik lukisan itu. Puisi yang sudah kuhapal luar kepala. Kau mau tahu isinya?” Tess bertanya lirih.
Nadine menoleh. “Puisi mengenai malaikat yang kalah? Boleh …” suaranya mengambang.
Tess menghela napas, berdehem, lalu kalimat-kalimat meluncur dari bibirnya:
Ada malaikat-malaikat
tersembunyi,
di bayang-bayang cahaya
Malaikat-malaikat
dengan kisah-kisah tak terungkap,
dan sayap-sayap yang terlipat
Gemilang surga bukanlah tempat mereka,
karena mereka berkelana di dunia abu-abu,
di batas tipis antara keselamatan dan kehancuran abadi
Sumpah mereka
berburu yang datang dari kegelapan