BROKENLIGHT

Lia Tjokro
Chapter #11

BAB 10: DIA YANG TAK BERKATA-KATA

Nadine mundur beberapa langkah dari jendela, menabrak tepi ranjang dan jatuh terduduk di atas ranjang. 

Suara rintik hujan musim gugur deras berjatuhan di kaca jendela dan atap rumah gagal menutupi detak jantungnya yang berpacu kencang. Ia berkali-kali menghela napas, menenangkan dirinya, dan setelah cukup tenang, ia mulai merasa bodoh.

Apa yang barusan terjadi? Lucas, tukang kebun rumah Papa, hanya menatapnya! Mungkin Lucas juga kaget kalau diawasi dari belakang seperti itu! 

Nadine mengembuskan napasnya kuat-kuat, menggelengkan kepalanya. 

Tapi ada sesuatu di tatapan Lucas, sesuatu yang membuatnya merasa begitu panik tadi. 

Entahlah. 

Tatapan itu tidaklah garang, tidak juga jahat mengancam … mungkin deskripsi yang lebih tepat adalah kosong. Tajam namun kosong, kekosongan yang berhasil membuat Nadine kalang kabut karena ia gagal menemukan emosi di dalamnya, emosi di tatapan mata yang bisa membantunya menebak apa yang sedang berlarian di benak Lucas. 

Ada tembok tak terlihat yang membuat Lucas terasa begitu jauh.

Nadine menghela napas, memutuskan keluar dari kamarnya, dan turun ke bawah. Ia masih mendengar suara tuts keyboard komputer Papa intens diketik, dan dalam hatinya ia berharap Papa menemukan kelancaran terus dalam kegiatan menulisnya. Kalau mood Papa bagus, mungkin ia bisa mengusulkan beberapa kegiatan yang bisa mereka lakukan bersama.

Tapi sekarang setidaknya ia harus menemui Lucas. Ia ingin minta maaf kalau reaksinya menutup tirai dengan begitu mendadak dan kasar bisa diinterpretasikan sebagai tindakan tidak ramah.

Mungkin Lucas masih ada di halaman belakang, pikirnya. Ia melangkah cepat masuk ke dapur. 

Tess ada di dapur dan Lucas ada bersamanya.

Tess berbalik, dan di tangan wanita itu ada sekeranjang kecil berisi buah-buah stroberi dan beri hitam segar.

“Nadine! Ah! Kemarilah! Kau lihat! Kau lihat! Di musim gugur hampir dingin seperti ini, Lucas masih bisa memanen buah-buahan ini! Stroberi dan beri hitam adalah buah-buah musim semi dan panas, tapi kau lihat … betapa segar buah-buahan ini!” Tess tak bisa menyembunyikan kesenangannya. Tangannya menimang keranjang itu dan binar di matanya menunjukkan kekaguman luar biasa. “Rasanya juga enak sekali!” tambahnya.

Tapi Nadine mengalami kesulitan memproses kalimat-kalimat Tess, napasnya sesak dan jantungnya berdetak begitu kencang lagi. 

Mata Lucas. Mata itu. Warna biru yang begitu indah, biru elektrik mungkin itu deskripsi nama warna yang paling pas. Warna seperti warna biru langit cerah musim semi. Biru yang seperti sedikit bersinar saking beningnya, dan tatapan itu masih tajam dan kosong. Lurus. Lekat. Ke arahnya. Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap kekar, dengan rambut hitam pekat yang basah terkena hujan, gondrong selehernya, sedikit ikal. Kulitnya berwarna pucat yang kontras dengan warna biru matanya dan hitam rambutnya.

“Nadine, ayo! Kenalan! Ini Lucas, putra Tom, dan tentu saja … tukang kebun kebanggaanku!” Tess hampir melengking. 

Lihat selengkapnya