Nadine memutuskan untuk tidak banyak memikirkan alasan mengapa Tess berbohong padanya. Jantungnya masih berdebar setelah tadi bertemu Lucas, dan mata biru elektrik pemuda itu kini seakan terpatri dalam memorinya. Mengapa ia merasakan kesedihan yang begitu aneh ini? Mengapa mata itu seakan mampu menggoyahkan segenap kisi-kisi hatinya, membuatnya merasakan sedih seperti air bah yang menerjang?
Tess diam-diam bangkit dari kursinya, menggumamkan sesuatu, lalu berlalu keluar dari dapur luas itu. Tapi Nadine kini berfokus pada satu ide yang muncul di benaknya.
Bersamaan dengan ide itu, seulas senyum kecil mengembang di bibir gadis itu. Ia mengangguk-angguk, berbalik, dan terpekik sambil mundur selangkah.
Lucas sudah berdiri di pintu dapur yang membuka menuju halaman belakang. Di tangan pemuda itu ada segenggam bunga mawar merah segar yang baru ia potong. Pemuda itu jelas juga terhenyak mendengar pekikan kecil yang muncul dari bibir Nadine.
“Lucas, oh my God, Lucas … kau tidak boleh begitu. Kau tidak boleh tanpa suara hanya berdiri mengawasi seperti itu!” rentetan kata-kata yang keluar seiring dengan debar jantung Nadine yang kalangkabut lagi. “Maaf, maaf aku … kaget …” gumam Nadine sambil menghela napas, dan ia mencoba sebisanya untuk tersenyum. “Maaf,” ucapnya sekali lagi dengan lebih lembut.
Lucas tak bersuara, dan berjalan pelan menuju sebuah lemari kayu di samping pintu, mengambil vas bunga dari dalam lemari itu. Dengan hati-hati, Lucas meletakkan bunga-bunga mawar merah bertangkai panjang itu ke dalam vas, mengisi vas dengan air segar dari keran, dan meletakkannya di atas meja dapur. Indah sekali rumpun bunga-bunga itu.
“Musim gugur, hampir musim dingin seperti ini, bagaimana mungkin kau masih bisa memanen mawar merah seperti mawar musim semi itu?” Nadine mengamati mawar-mawar segar di dalam vas itu dan semakin tidak mengerti, ia yakin ia melihat rumpunan tanaman mawar yang semua sudah kering mati di luar sana, dan Papa tidak memiliki rumah kaca untuk merawat bunga-bunga ketika dingin menghunjam.
Lucas menatapnya, dan Nadine ingat tips dari Tess: Jangan bersirobok langsung dengan mata Lucas. Mata biru itu seakan mencarinya, dan Nadine gelagapan dalam hening, mencoba mengarahkan pandangannya ke arah lain.
“Kau pendiam sekali, ya?” suara Nadine serak separuh berbisik.
Untuk beberapa detik, Nadine hampir yakin kalau Lucas akan berkata sesuatu, pemuda itu membuka mulutnya sedikit, gemetar … .
“Lucas! Mawar! Wah!” Tess melangkah cepat dan ringan masuk ke dalam dapur, sepatunya berdecit-decit di lantai saat wanita itu bergegas menuju mawar-mawar di dalam vas dan menghirup harum aroma bunga-bunga itu. “Kau lihat, Nadine! Tukang kebun andalanku! Mawar di musim seperti ini!” suara Tess begitu riang, tidak ada lagi mendung di wajahnya.
Lucas mengatupkan mulutnya lagi dan membuang muka, meninggalkan pertanyaan di benak Nadine akan apa yang akan dikatakan pemuda itu.
Deheman keras terdengar, dan Tom masuk juga ke dalam ruangan dapur itu.
“Tess dan aku akan ke Rock Edge!” Tom mengumumkan keras-keras sambil membentangkan tangannya lebar-lebar, memejamkan matanya, dan mendongakkan kepalanya ke langit-langit ruangan. Siraman cahaya lampu membuat tubuhnya bergelimang sinar lembut, dan pria itu mulai menari-nari kecil, menggoyangkan pinggangnya ke kanan, ke kiri, lalu berputar-putar sambil tetap membentangkan tangannya dan memejamkan matanya.