BROKENLIGHT

Lia Tjokro
Chapter #14

BAB 13: ANAK-ANAK YANG BERBICARA SENDIRI

Malam itu Nadine tidak bisa tidur. Awan gelap masih berarak, tapi tidak ada yang sedikitpun menutupi bulan purnama yang bersinar dengan gemerlap. Nadine berdiri di samping jendela kamarnya, matanya lekat tak beralih dari bulan. Heningnya malam membuat napasnya yang tidak teratur–pendek-pendek, dan sesekali seperti menggigil–dan bunyi detak jantungnya terdengar jelas.

Kebetulan apa yang tadi terjadi? Awan gelap yang begitu saja berarak pergi bagaikan ditarik tangan-tangan tak terlihat, begitu cepat! Ia tidak merasakan embusan angin apapun, rambutnya tidak bergerak, daun-daun tidak bergemerisik, semua begitu hening, diam dalam posisi masing-masing. Tapi awan-awan itu bergerak begitu cepat, menjauh dari bulan.

“Aneh …” Nadine berbisik sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ke arah bulan. Sesaat kemudian matanya nanar beralih ke dua patung malaikat di atas mejanya. Satu patung malaikat yang ia bawa, pemberian Nenek, dan satu patung milik Tess. Malaikat milik Tess yang begitu gagah dengan pedangnya entah mengapa membuat gadis itu tertarik. 

Ia mendekat, meraih patung malaikat milik Tess, dan mengamatinya lekat-lekat. Patung yang dibuat dengan demikian halus, demikian bagus detailnya, menunjukkan malaikat yang bertubuh kekar tegap, bersayap terbentang gagah, berjubah, berpakaian dengan perisai pelindung bahu dan dada, berpedang, dan sepasang mata yang menatap lurus ke atas – mungkin ia sedang berdoa, karena ia ingat Nenek Samantha pernah memberitahunya: Malaikatpun akan berdoa sebelum bertugas.

Ada malaikat-malaikat yang jarang, atau tidak pernah, kau dengar. Malaikat-malaikat prajurit. Malaikat-malaikat pemburu iblis … .

Bait puisi Malaikat yang Kalah berlari di benaknya. Patung malaikat yang di hadapannya saat ini begitu gagah, sungguh berbeda dengan kesedihan dan keputusasaan yang menguar dari lukisan malaikat di kamar Tess. Apa yang bisa membuat malaikat kalah? Patah hati? Nadine berpikir-pikir.

“Battle angels, Nadine. Malaikat petarung. Mereka diciptakan untuk berperang … mereka memang tak terlihat, tapi mereka menjagamu …” kata-kata yang pernah diucapkan Nenek Samantha padanya saat berusaha meyakinkannya akan adanya malaikat kini terngiang juga di benaknya. Konsep malaikat yang tidak lemah lembut dan tidak pula lucu menggemaskan, tapi yang petarung, pemburu, yang berdiri selangkah saja dari kegelapan, adalah konsep yang tersurat di bait puisi yang diucapkan Tess padanya, dan konsep yang sama juga dipercaya oleh Nenek Samantha-nya tersayang.

Nadine menggigit bibirnya keras-keras, menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir semua pemikiran malaikat dari benaknya. Apa yang terjadi pada bulan barusan adalah fenomena biasa di alam, malaikat tidak ada, dan ia harus berhenti menganalisa hal-hal yang begitu abstrak seperti “malaikat” karena ia bisa menjadi gila karenanya. Nadine menggelengkan kepalanya sampai ia berhasil mengusir pemikirannya akan malaikat walau sisa-sisanya masih bercokol bandel di benaknya.

Malaikat tidak ada. Malaikat tidak ada karena aku tidak pernah melihatnya, menyentuhnya, dan di mana malaikat ketika aku terpuruk saat Papa Mama berantem, saat aplikasi S2 gagal lagi dan lagi? Malaikat tidak ada! Nadine mengulang dalam batin untuk mengukuhkan keyakinannya lagi, dan ia menggelengkan kepalanya berkali-kali lagi untuk mengusir pemikiran mengenai malaikat yang kembali mampir. 

Gadis itu akhirnya memutuskan untuk mencoba tidur. Tubuhnya lelah, dan pikirannya berat membebaninya. Masa depannya, hubungannya dengan kedua orangtuanya yang bagaikan jahitan yang benangnya pelan dan pasti semakin terurai, lepas, tak bisa diperbaiki lagi, langkah hidup selanjutnya setelah dari rumah Papa, keberadaan malaikat–semua carut marut tumpuk menumpuk di dalam kepalanya.

Matanya perlahan terkatup, napasnya yang sedari tadi berkejaran entah kenapa perlahan juga menjadi lebih tenang teratur.

Tidur menjemputnya dan mengantarnya ke alam mimpi … .


<<<>>>


Nadine berjalan di tengah kota yang ia kenal, kota Northridge, di jalan yang ia kenal, jalan di depan rumah Mama. 

Cuaca musim gugur yang begitu abu-abu membuat segala bangunan dan tanaman seakan terlapisi cat abu-abu yang kusam, dan awan hitam di langit tidak menumpahkan hujan kali ini. Segala pemandangan terasa begitu familiar baginya, tapi juga begitu asing. Jalanan sepi, tidak ada mobil atau pejalan kaki yang melintas, dan ia hanya berjalan lurus. Tidak ada suara embusan angin, burung berkicau, suara mobil, atau suara apapun. Hanya napasnya yang terdengar naik turun.

Lihat selengkapnya