BROKENLIGHT

Lia Tjokro
Chapter #15

BAB 14: MALAIKAT PETARUNG

Nadine kalang kabut terbangun, duduk tegak di atas ranjangnya, napasnya tersengal-sengal, dan ia berjuang untuk ingat kembali di mana dirinya saat ini, mengumpulkan remah-remah nalarnya setelah tidur dan mimpi yang begitu nyata.

Ia menarik selimutnya ke dagu, sekujur tubuhnya mandi keringat dingin, dan degup jantungnya begitu kencang seakan akan meledak di dalam rongga dadanya.

Mimpinya. Mimpi apa itu? Begitu jelas, begitu nyata! Tangannya gemetar mencengkeram erat pinggiran selimut, dan ia mencoba mengatur napasnya yang berkejaran.

Malaikat petarung. Gagah, mengerikan, dingin. Ia melihat mereka menjalankan tugas membasmi iblis yang datang dalam bentuk ular-ular mengerikan. 

Malaikat-malaikat prajurit. Malaikat-malaikat pemburu iblis. Mereka yang memastikan kalau kebaikan bisa ada di dunia ini, lantunan pengantar tidur bisa dinyanyikan dengan riang, dan cerita-cerita bahagia bisa berlanjut … .

Untaian puisi yang tertulis di balik lukisan Malaikat yang Kalah terulang di benaknya. Puisi yang kini terasa begitu pas dengan mimpinya. Para malaikat prajurit yang datang, membentuk tameng, menjaga anak-anak yang riang gembira bermain di taman yang indah bagai musim semi dari serangan iblis. 

Puisi yang kemungkinan besar dibuat oleh Lucas.

Lucas. Mata biru elektriknya. Malaikat petarung di mimpinya. Mata mereka … .

Nadine tergagap. Siapa Lucas sebenarnya? Apakah mungkin Lucas adalah … 

“Hentikan, Nadine! Gila. Ini gila. Semua hanya mimpi. Semua hanya kebetulan! Cukup!” Nadine memotong pemikiran yang berlarian dalam benaknya, membenamkan wajahnya ke dalam selimut sembari mengingatkan dirinya sendiri dengan nada keras. 

Semua hal di mimpinya bisa dijelaskan secara psikologis, secara nalar. Ia terus terang terpesona dengan mata biru elektrik Lucas, karena itu karakter dalam mimpinya juga berwarna mata sama. Pikirannya juga disibukkan dengan hal-hal kemalaikatan sebelum tidur, karena itu mimpinya adalah mengenai malaikat. Mimpi seringkali adalah cara otak untuk menyelesaikan, mengulang, hal-hal yang dialami di dunia nyata. Itu adalah penjelasan yang terbaik, paling masuk di nalar, dan Nadine terus mengulang penjelasan itu dalam benaknya.

Dan Lucas? Lucas adalah pemuda pendiam tukang kebun rumah ini. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak ada yang istimewa. 

Nadine melirik jam. Jam tiga malam. Jantungnya perlahan berdetak normal lagi, tubuhnya dingin oleh keringat yang bercucuran karena mimpi anehnya tadi. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mencoba memutuskan apakah ia akan mencoba tidur karena ia hampir yakin setelah mimpi tadi, ia akan kesulitan untuk jatuh tertidur lagi.

Samar-samar, telinganya menangkap suara dari halaman belakang rumah. Awalnya ia mengira itu hanya suara serangga-serangga malam. Tapi semakin ia mendengarnya, semakin ia menyadari itu bukan suara alam.

Nadine perlahan berdiri, kakinya lemas, tapi ia memaksakan diri berjalan ke arah jendela untuk mengintip suara apa yang ada di halaman belakang.

Cahaya bulan masih terang benderang, memandikan halaman belakang dengan sinar keperakan. Nadine menajamkan matanya, melihat ada sosok di bawah sana.

Tom.

Pria itu sedang berjalan ke sana ke mari sambil menggiring bola sepak. Nadine menjorokkan tubuhnya semakin dekat ke jendela, memastikan kalau pria itu memang sedang berjalan menggiring bola ke sana kemari di halaman … pada jam tiga malam.

Lihat selengkapnya