Tiba-tiba seorang anak laki-laki berumur sekitar empat tahun yang riuh cekikikan dan berlarian tanpa sengaja menabrak Tom sehingga keranjang yang ia tenteng jatuh. Tanpa sadar Nadine melangkah cepat mendekat, entah mengapa ia merasa harus menjaga anak itu. Napas Nadine terhenti sesaat ketika dari tempatnya berdiri ia bisa melihat jelas apa yang terjadi selanjutnya.
Paras Tom berubah. Merah padam dengan rahang mengeras. Tangannya terkepal. Bibirnya menyeringai menatap anak yang kini berdiri terpaku antara kaget dan takut di hadapannya.
Lucas bergerak cepat, terlihat hampir seperti kelebatan saja, dan meraih si anak, menggendongnya tepat saat Tom merangsek maju hendak mencengkeram leher anak itu.
Nadine terhenyak melihat kecepatan gerakan Lucas, lalu gadis itu berlari mendekat ke Lucas.
Segenap keriuhan celoteh riang orang-orang seakan menjadi hening dalam benak Nadine. Lucas menyadari dirinya ada di sampingnya, menoleh dan menyerahkan anak yang ia gendong ke Nadine, dan Nadine mundur beberapa langkah dan membiarkan anak itu berlari pergi.
Namun atmosfir tempat itu berubah dengan begitu cepat. Tom dan Lucas saling berpandangan tanpa kedip. Nadine lagi-lagi merasakan bagaikan ada badai tak kasat mata di antara mereka berdua. Suara anak-anak yang sedang bermain menjadi sayup-sayup di telinganya.
Tom melangkah pelan, mendekat ke Lucas sehingga jaraknya hanya setengah lengan dari putranya itu. Lucas tak bergerak. Tubuh tegap kekar itu bagaikan tembok kukuh yang tak mempan diancam angin badai.
“Ah, Nadine … Nadine yang manis … aku senang kau juga datang ke mari. Ke bukit Rock Edge yang indah ini,” Tom mengalihkan tatapannya ke Nadine yang berada di sisi Lucas, and Nadine sontak mengkerut ngeri melihat tatapan itu. Tom menjulurkan tangannya ke arah Nadine, dan Lucas dengan cepat merentangkan lengannya ke depan Nadine, menamengi gadis itu.
Tom terkekeh, menyeringai lebar, lalu tertawa keras sambil bertepuk tangan. “Baik! Mari kita piknik! Tess sudah menyiapkan makanan lezat!”
Sambil berjingkrak-jingkrak, Tom meraih keranjangnya, lalu berlarian ke arah Tess lagi, meninggalkan Nadine melongo dalam bingungnya, dan Lucas termenung.
Piknik berubah menjadi begitu kaku setelahnya. Hanya Tess yang tidak terpengaruh akan apa yang barusan terjadi, dan Tom. Tom bertingkah lucu seperti anak kecil lagi, bernyanyi, mencandai Tess, dan berbincang santai. Lucas duduk sebentar, lalu beranjak, berkeliling dataran rumput itu. Sementara Nadine sama sekali tidak bisa berfokus pada makanan dan minuman. Pikirannya masih bingung akan apa yang terjadi, dan ia menantikan Papa yang tidak muncul-muncul.
Nadine memeriksa pesan whatsapp di telponnya. Tidak ada balasan dari Papa pada pesannya tadi. Ia mengirimkan pesan menanyakan kapan Papa akan datang piknik. Pesannya bahkan belum dibaca. Nadine menggigit bibirnya dalam kecewa.
Jam makan siang sudah lewat. Makanan dan minuman yang dibawa Tess sudah banyak berkurang. Ia takut kecewa. Ia takut kalau Papa tidak datang ia harus menghadapi kekecewaan lagi.
Tiba-tiba, terdengar suara isak tangis. Nadine mengangkat kepalanya dan bengong melihat siapa yang sedang menangis. Tom, di pelukan Tess. Keranjang kecil yang ia tenteng-tenteng sedari pagi terbuka, dan ada sebuah bola lusuh. Bola sepak putih bertotol-totol merah itu sudah begitu tua, compang-camping, dan kusam. “Bolaku rusak! Tess, aku melihat ada satu goresan baru di atasnya! Tess!” Tom meraung serak.