BROKENLIGHT

Lia Tjokro
Chapter #19

BAB 18: LEDAKAN AMARAH

Rombongan itu pulang ke rumah dalam keadaan duka karena alasan masing-masing. Nadine hanya diam di sepanjang jalan, Tom menggamit erat Tess dan ia juga lebih banyak diam. Lucas berjalan di belakang mereka, entah apa yang ada di pikiran pemuda itu.

Hari sudah gelap ketika mereka tiba kembali di rumah. Nadine terpaku di ruang tamu yang luas dan hening. Napasnya yang tadi tenang menjadi semakin memburu. Lalu dengan langkah menghentak, ia ke ruang kerja Papa di atas.

Ia tidak mengetuk pintu dan langsung menerobos masuk. 

Papa tergagap kaget, kacamata bacanya bertengger di ujung hidungnya. Dengung komputer terdengar lamat-lamat, dan ruangan itu temaram karena hanya satu lampu yang menyala, lampu di atas meja Papa.

“Kau keterlaluan! Papa! Kau bilang akan datang tapi kau tidak datang! Aku sudah sangat mengharapkan untuk menghabiskan hari ini bersamamu! Tapi tidak, tidak begitu. Karena tulisanmu lebih penting dari anakmu sendiri! Kau egois!” Nadine gemetar dan meraungkan seluruh kemarahannya. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat, dan kemarahan membakarnya bagai api yang menghanguskan kesabarannya, harapannya, dan nalarnya.

“Kau! Kau anakku! Tentu kau penting! Tulisanku …” Papa balas berteriak.

“Bohong!” teriak Nadine sambil memukul pintu dengan kepalan tangannya. Kepalan tangannya sakit dan pintu kukuh itu tetap tegak tak bergetar sedikitpun.

“Nadine!” bentak Papa sambil berdiri. Kemarahan meluap di mata pria itu. 

Nadine ingin berkata-kata lebih banyak, ada begitu banyak yang berseliweran di benaknya saat ini. Segala kata. Segala pesan. Tapi ia tidak mampu merangkai kalimat. Tangisnya deras dan ia menggunakan kedua telapak tangannya untuk menghapus airmata yang terus mengalir.

“Aku tidak pernah penting di hidupmu. Atau di hidup Mama …” hanya itu yang akhirnya berhasil keluar dari bibirnya, kalimat yang menjadi semacam kesimpulan yang tertelan airmatanya.

“Itu tidak benar! Lihat, lihat, Nadine. Aku akan mendedikasikan novel terbaruku untukmu! Kau sangat penting bagiku!” Papa gelagapan.

“Aku tidak butuh dedikasi di novelmu. Aku butuh seorang Papa yang hadir dalam hidupku, yang mau menghabiskan waktu denganku, yang mau mengenalku dan membiarkanku mengenalnya. Itu saja. Simpel sebenarnya, tapi tampaknya tidak akan terjadi,” ucap Nadine lirih dan ia benar-benar mencoba kuat dan mengucapkan kalimatnya dengan setegas mungkin. Kalimatnya masih gemetar. Airmata masih berjatuhan, dan gadis itu menggelengkan kepalanya tanda menyerah dan berbalik. Keluar.

Ia melangkah turun dengan hentakan-hentakan yang menggetarkan anak-anak tangga, dan dilihatnya Lucas berdiri di kaki tangga. Tatapan pemuda itu lurus padanya, penuh tanda tanya, tapi Nadine tidak tertarik untuk menghentikan langkah dan bercakap-cakap. Lucas berdiri tepat di depan tangga, dan Nadine turun, mendorong pemuda itu dengan keras, dan terus melangkah. Tangisnya mendesak-desak menjadi isakan-isakan kecil.

Lihat selengkapnya