BROKENLIGHT

Lia Tjokro
Chapter #20

BAB 19: JUMPA LAGI

Nadine tergagap, tidak menyangka ada Lucas di sana. Tapi gadis itu melangkah mendekati pemuda tukang kebun rumah Papa itu.

“Lucas, aku … aku … maksudku … maaf aku tadi mendorongmu. Aku sedang sangat marah. Kurasa itu bukan alasan yang baik untuk mendorongmu …” Nadine menghela napas, dan melanjutkan kalimatnya,”Tapi sekarang aku ingin sendiri, ingin menjauh sebentar dari rumah Papa. Aku butuh waktu dan ruang untuk berpikir …” ia berucap serak, setengah gelagapan karena kagetnya akan kehadiran Lucas di sana belum hilang.

Lucas menelengkan kepalanya sedikit, seakan ingin berkata kalau ia ingin tahu lebih banyak. Mata biru mengagumkan itu tak berkedip, dan Nadine anehnya tidak merasakan sedih yang intens seperti biasa ketika ia dan Lucas bertemu. Ia hanya merasa telengan kepala Lucas berkata begitu banyak padanya: Ada apa? Kau baik-baik saja? Aku menguatirkanmu. Nadine tahu Lucas tidak akan berkata apa-apa, tapi dalam heningnya, dari gesturnya, Nadine merasa kalau pemuda itu sudah bercakap-cakap dengannya. Dan anehnya, ia tidak keberatan.

Suara bus yang berdecit tiba di halte terdengar. Nadine mencoba tersenyum, menganggukkan kepalanya kepada Lucas. “Nah, busku sudah tiba. Aku harus pergi! Jangan kuatir. Aku akan baik-baik saja,” senyumnya sambil bergegas menjauh dari Lucas untuk mencegat busnya.

Ia tahu Lucas mengikutinya beberapa langkah sebelum pemuda itu berhenti ketika Nadine masuk ke dalam bus.

Nadine melambaikan tangannya ke arah Lucas yang berdiri kaku di halte. Mata pemuda itu masih diliputi kekuatiran yang tak terungkap dalam kata-kata, tapi Nadine memutuskan untuk tidak memikirkan reaksi Lucas saat itu. Biarlah. Ia sudah dewasa, ia berhak pergi ke mana ia mau.

Bus itu dingin karena AC-nya yang masih dinyalakan full walau cuaca musim gugur dingin di luar. Nadine menggigil pelan sambil duduk di baris belakang, memeluk ranselnya, dan menyesal dalam kemarahannya tadi ia lupa menyambar jaket tebalnya. Ia hanya mengenakan cardigan wol tebal yang sedari siang ia kenakan. Matanya melihat-lihat seisi bus. Tidak banyak orang, hanya dirinya dan sepasang kakek nenek yang duduk di kursi dekat sopir di depan.

Matanya sibuk melihat-lihat jalanan yang basah oleh gerimis di luar, mencoba memutuskan akan turun di halte yang mana. 

Bus terus melaju, dan Nadine memutuskan untuk turun di halte bus di pusat Roseville, di stasiun kereta. Ada banyak tempat di pusat kota yang bisa ia singgahi untuk menghabiskan waktu. Mungkin ia akan pulang dengan bus terakhir nanti ke rumah Papa.

Nadine turun di bus stasiun, melangkah dengan ransel menjuntai di bahunya. Roseville terasa lebih hidup di malam hari. Restoran-restoran dan pub-pub yang buka, memajang lampu-lampu neon yang mengundang pelanggan. 

Riuh celotehan terdengar dari pelanggan restoran yang duduk di meja-meja makan di halaman restoran dengan dinaungi payung-payung besar dan penghangat udara elektrik di sekitar mereka. Cuaca gerimis dan udara dingin tidak menyurutkan niat mereka makan-makan. Nadine juga bisa melihat kalau bagian dalam restoran juga penuh oleh pelanggan yang sibuk bersukaria dengan orang-orang kenalan mereka.

Perutnya meronta, dan matanya mulai mencari-cari tempat untuk makan. Sebuah restoran cepat saji di ujung jalan sana menarik perhatiannya. 

“Hei!” suara seorang laki-laki mengagetkannya dan membatalkan langkahnya ke arah restoran cepat saji. Nadine berbalik, ternyata seorang pemuda jangkung berambut ikal kemerahan dengan mata cokelat muda yang barusan menyapanya. Pemuda yang ia kenali sebagai pemuda yang berbincang sejenak dengannya di bus saat ia baru tiba di Roseville.

“Hei … kamu …” ia gelagapan menjawab.

“Namaku Jamie. Kita tidak sempat kenalan di bus hari itu!” Jamie tersenyum, dan senyum manis itu cukup menenangkan Nadine.

“Hai. Aku Nadine,” ia menjawab sambil tersenyum juga.

“Kau sendiri? Aku kemari untuk bertemu seorang teman, tapi barusan ia membatalkan rencana makan-makan karena sakit. Jadi aku di sini tanpa rencana sekarang,” Jamie mengedikkan bahunya sambil mendengus.

Lihat selengkapnya