Jamie berhasil mendudukkannya dengan paksa di kursi penumpang depan, memasangkan sabuk pengaman untuk memastikan ia tidak mudah lari, walau saat itu Nadine sudah bagaikan zombie.
Namun di sela-sela airmata yang terus mengalir dan pikirannya yang menjadi semakin jauh dari kesadaran penuh, bagaikan sebuah mimpi yang berlarian di benaknya walau ia tidak tertidur, ia menyaksikan semua yang kemudian terjadi.
Jamie berjalan cepat menuju ke sisi pengemudi, namun pemuda itu menghentikan langkahnya tiba-tiba dan memutar tubuhnya, memunggungi mobilnya, menatap lurus ke arah salah satu lampu jalan kira-kira sepuluh meter di hadapannya.
Seorang pemuda berdiri di bawah lampu jalan bercahaya kuning temaram itu. Pemuda bertubuh tinggi, kekar tegap, berpakaian serba hitam.
Jamie berteriak marah ke arah pemuda itu, takut kalau ada saksi mata akan apa yang ia lakukan pada Nadine. Dari dalam mobil, Nadine bisa mendengar lamat-lamat Jamie menyumpahserapahi pemuda itu, walau otaknya yang beku tidak mampu mengartikan semua sumpah serapah itu.
Nadine menahan napasnya. Pemuda itu dengan begitu tenang melangkah mendekat ke arah Jamie.
“Tolong … please …” Nadine berbisik karena gagal berteriak.
Pemuda itu melangkah semakin cepat, dan tiba-tiba, ia merentangkan kedua tangannya, kepalanya tersentak ke belakang, dan matanya lurus menatap langit malam. Jamie terdiam dan terpaku.
Nadine menganga. Dari jarak yang lebih dekat ini, ia mengenali pemuda itu. Sangat mengenali. Mata itu … begitu indah. Biru elektrik.
Tiba-tiba, dua sayap besar berwarna hitam pekat mengembang terbuka dari punggung pemuda itu. Sepasang sayap besar itu bentuknya mirip sayap angsa, begitu megah dan kukuh.
Nadine bisa merasakan kesiuran angin ketika pemuda itu mengepakkan sayapnya, dan cipratan air gerimis bepercikan ke segala arah ketika sayap-sayap itu mengepak. Pemuda itu sekarang mengambang beberapa senti dari tanah. Kedua tangannya masih terentang, seakan menantang Jamie untuk menyerang duluan, kalau berani.
“Malaikat … malaikat petarung. Pemburu iblis. Battle angels …” Nadine mengais kata-kata itu dari kedalaman memorinya, dari mimpinya.
Jamie mundur dalam ketakutan, menabrak kap mobilnya, dan dalam satu lompatan ke samping, pemuda itu memutar tumitnya, dan tunggang langgang.
Malaikat itu tetap diam, wajahnya menoleh kaku ke arah Jamie, dan dengan sapuan tangannya, tubuh Jamie terbetot ke belakang, tersedot oleh tarikan gravitasi yang membuat pemuda itu terseret, meronta-ronta sekuat tenaga, namun tetap mendekat ke malaikat itu. Jamie meraung-raung dalam ketakutan luar biasa, dan malaikat itu masih begitu dingin, tidak ada satu katapun keluar dari bibirnya.
Jamie terlepas dari tarikan malaikat, walau jelas itu karena malaikat itu melepas tarikannya secara sukarela. Jamie mencoba lari lagi, dan kali ini malaikat itu mengikutinya dalam langkah yang tetap pelan dan tenang, lalu menghantamkan tangan kirinya ke arah pemuda malang itu, dan Jamie bagaikan tertampar gelombang energi tak kasat mata, langsung tersungkur tepat di depan sebuah tiang lampu.
“Nadine! Oh my God … Nadine! Tolong! Please!” Jamie berteriak ke arahnya. Nadine tergagap, dan entah mengapa, ia tahu, ia yakin, nyawa Jamie tak mungkin ia tolong.
Gadis itu kalangkabut membuka kunci pintu mobil, lalu terseok-seok turun dari mobil, lututnya yang lemas membuatnya jatuh tersungkur di atas semen di samping pintu mobil. Ia sibuk menggelengkan kepalanya. “Jangan bunuh … jangan …” hanya itu yang keluar dari bibirnya. “Lucas!” ia berteriak.