BROKENLIGHT

Lia Tjokro
Chapter #22

BAB 21: UNDANGAN PESTA

Lucas menyadari kehadirannya ketika pemuda itu pelan-pelan bangkit dan berbalik. Nadine tergagap ketika mata biru elektrik itu menatapnya. Sedih. Namun juga ada kelembutan yang tak terungkapkan kata.

Kabut di otaknya saat ini, yang membuatnya begitu sulit untuk bisa mengingat apapun yang terjadi semalam, sedikit terkuak dengan satu memori yang mengapung rapuh dan siap untuk lenyap kapan saja: Ia bertemu Lucas semalam. Dan bukan ketika ia mendorong pemuda itu di kaki tangga. Ia dan mata biru itu pernah bertatapan, lama dan mendalam, dalam situasi yang berbeda dari tatapan sekilas di kaki tangga. Dan … dan … Nadine meraung lirih sambil menggelengkan kepalanya ketika ia gagal mengingat lebih banyak. Semua hanya imajinasinya mungkin.

Ia menghela napas. “Lucas … aku … aku tidak merasa seperti diriku sendiri saat ini. Kepalaku begitu sakit dan tubuhku lemas. Aku mabuk berat semalam. Tapi aku ingin minta maaf … kemarin aku mendorongmu ketika aku marah …” ia akhirnya berucap.

Lucas tidak berkata apapun tentu saja. Namun Nadine bisa melihat anggukan yang sangat samar. Pemuda itu menerima permintaan maafnya. Ada sedikit lega yang membantu Nadine bernapas lebih ringan.

Namun kemudian, ada desakan aneh dalam dirinya, desakan untuk mengatakan sesuatu, walau ia tidak yakin dari mana desakan itu berasal atau mengapa ia harus mengatakan itu. Ia terpaku sesaat, mencoba menimbang apakah ia akan menuruti desakan aneh itu dan mengungkapkan apa yang terasa begitu mendesak. 

Tapi bagaimana kalau ia terdengar aneh? Bagaimana kalau Lucas tidak mengerti apa maksudnya? Nadine menghela napas, memejamkan mata, membukanya lagi, dan menuruti desakan untuk berucap, “Lucas, aku tidak tahu mengapa … tapi aku hanya ingin mengucapkan … terima kasih …”

Nadine tidak mengerti mengapa ia merasakan desakan untuk mengucapkan terima kasih pada Lucas. Apa yang sudah dilakukan Lucas untuknya? Nadine menghela napas, sakit kepalanya semakin parah, namun ada sedikit lega di hatinya ketika Lucas mengangguk samar lagi. Ia mengerti apa maksud terima kasih dari Nadine, walau Nadine tidak.

Nadine mengangguk cepat, buru-buru berbalik dan bergegas masuk ke dalam rumah lagi sebelum ia membuat dirinya kelihatan semakin ngawur di depan Lucas.

Ia berjalan cepat di koridor yang menghubungkan dapur dengan ruang depan, dan berhenti mendadak di depan kamar Tess yang pintunya terbuka. 

Tess tidak di dalam sana, tapi matanya menangkap lukisan Malaikat yang Kalah dan tubuhnya mendadak gemetar dan napasnya tersengal. 

Kelebatan-kelebatan hitam putih di benaknya membantunya mengingat kepingan-kepingan jigsaw apa yang terjadi padanya semalam. Kabut yang sedikit menipis. Malaikat petarung. Pedang yang teracung. Sayap hitam, besar, gagah, terbentang. Firasatnya sangat kuat kalau ia pernah melihat malaikat seperti di lukisan itu, tapi dalam segala kegagahannya, bukan malaikat yang kalah. 

Napasnya memburu, tangannya mencengkeram erat pintu kamar Tess. 

“Nadine?” suara Tess mengagetkannya.

Nadine berbalik cepat. Tess menatapnya kuatir. “Beristirahatlah. Kau kelihatan begitu lelah, sweetheart,” wanita itu menepuk bahunya lembut.

Aku hampir gila. Itu pikiran yang melintas di benak Nadine ketika ia memutuskan untuk mengiyakan saran Tess. Imajinasinya semakin liar, dan satu-satunya cara saat ini untuk mewaraskan kembali pikirannya adalah dengan istirahat yang cukup.

Nadine mengangguk, lalu berlalu dalam langkah-langkah sedikit terseok ke kamarnya sendiri. 

Lihat selengkapnya