BROKENLIGHT

Lia Tjokro
Chapter #24

BAB 23: NAMAKU . . .

Ruang dapur terang benderang karena lampu yang dinyalakan. Di ruangan itu, ada sebuah meja makan bulat, dan empat kursi di sekelilingnya. 

Di atas meja makan satu nampan besar berisi cupcake-cupcake cokelat yang ditata melingkar, setiap cupcake dilapisi dengan olesan tebal topping krim susu segar, irisan buah beri, dan taburan gula halus. Di salah satu cupcake, yang diletakkan di tengah lingkaran cupcake, ada sebuah sedotan plastik yang ditancapkan dengan sehelai kertas merah bertuliskan “Happy Birthday, Finnley!”

Tapi yang membuat Nadine terpekik adalah siapa saja yang hadir dan duduk di sekeliling meja makan itu.

Papa.

Mama.

Tess.

Mereka duduk dengan ekspresi wajah kosong, tanpa emosi, hanya duduk dengan punggung tegak kaku, menatap lurus ke depan, tak berkedip. Mereka seakan dalam pengaruh sihir yang membuat mereka bagaikan boneka hidup. Wajah-wajah mereka pucat, bibir mereka membiru seperti kedinginan, dan tangan mereka kaku di atas meja.

Dan Lucas.

Pemuda itu pucat pasi, berlutut di lantai di ujung dapur, kedua lengannya menumpu tubuhnya, dan kepalanya tertunduk. Tubuhnya gemetar, dan perlahan-lahan, pemuda itu mengangkat wajahnya, menatap Nadine. Mata biru mengagumkan itu anehnya tidak tampak sedih, dan itu yang juga mengagetkan Nadine. Mata itu penuh harap, penuh kepercayaan pada Nadine.

“Apa … mengapa? Finnley! Apa maumu? Mengapa ada orangtuaku di sini? Tess? Lucas? Apa yang telah kau lakukan pada mereka?” Nadine berbalik, mengatasi rasa takutnya, dan bersuara keras pada Finnley.

Finnley terkikik bagaikan anak kecil yang tertangkap basah melakukan hal yang nakal. “Sudah kubilang, aku mau jadi Finnley! Aku bukan lagi Tom yang penakut dan sakit itu! Hidup Finnley yang normal berakhir di hari ulangtahunnya bertahun-tahun lalu, sekarang di hari ulangtahunnya juga, hidupnya akan benar-benar berakhir. Sudah selesai tugasnya. Tapi sebelum itu, ada banyak cerita yang harus kau dengar malam ini, dan tugasmu malam ini Nadine, tugasmu yang mahapenting … adalah …” Finnley menyeringai.

“Apa?” Nadine mengangkat dagunya, mencoba untuk menambah keberanian walau jantungnya berdebar begitu kencang ia takut ia akan mengalami serangan jantung. Matanya berkeliling, dan rasa kuatir menghunjamnya melihat keadaan orangtuanya, Tess, dan Lucas. 

Mengapa bisa seperti ini? Siapa Finnley yang bisa mengumpulkan orangtuanya, ketika dirinya, anak kandung mereka, gagal melakukan itu? Apa yang sudah dilakukan Finnley pada mereka sehingga mereka kaku diam seperti itu? Ya Tuhan apakah mereka bisa baik-baik lagi?

“Tugasmu adalah membunuh malaikat! Nadine, sang penghancur malaikat! Luar biasa, bukan?” Finnley berputar-putar riang. 

Nadine bengong sejenak, lalu sibuk menggelengkan kepalanya, dan dari bibirnya keluar kata tidak berkali-kali, dan kau gila yang ia arahkan lurus ke Finnley.

“Kau, Nadine, kau tidak percaya malaikat. Hatimu hancur lebur oleh ulah orangtuamu. Kau, kau hanya sejengkal saja dari jurang kegelapan, dari kebencian yang akan memakanmu hidup-hidup, dari kesumat yang akan mengakar dalam hatimu. Malam ini, kau kuberi kesempatan untuk mengakhiri semua kepahitan itu!” Finnley kini terdengar serius.

Nadine melongo. Bagaimana mungkin Finnley tahu semua itu? Tess-kah yang memberitahunya?

“Malaikat … malaikat seperti Lucas. Kekuatannya berasal dari kepercayaannya akan kebaikan manusia, manusia yang ia bela dengan pedangnya. Semakin gelap hatimu, Nadine, semakin lemah Lucas. Dan semakin kuat aku!” Finnley terkekeh.  

Tiba-tiba, Finnley tersentak ke belakang, lalu jatuh berdebuk di lantai, berkelojotan sesaat, dan dari tubuhnya keluar asap hitam berbau busuk. Asap hitam yang perlahan membentuk sosok. Sosok mahluk tinggi, kurus dengan tulang-tulang bertonjolan, berkulit pucat, bermata hitam total tanpa putih, dan berambut lurus panjang merah darah. Ia berpakaian hanya selembar kain hitam yang ia lilit-lilitkan di sekujur tubuhnya. Compang-camping.

Lihat selengkapnya