Nadine memeluk Griel dalam ruangan yang terasa begitu surreal kini, bagaikan satu adegan film indie noir. Kelam. Ruang dapur mungil itu menjadi saksi empat manusia yang dibawah pengaruh Argath, dan seorang manusia terluka batin yang memeluk malaikat yang kalah.
Griel menghela napas, dan Nadine mendorong lembut sang malaikat.
“Argath ada di sini,” Griel bangkit sambil matanya nanar menatap seisi dapur.
Nadine mengangguk dan berdiri di samping Griel. Ia takut, sangat takut, tapi ia tahu, ketakutannya ini tidak seberapa dibandingkan ketakutan kalau Argath sampai bisa menang.
Matanya berkeliling, hinggap di orangtuanya, Tess, dan Finnley. Di saat seperti ini, ia akhirnya yakin, sebenci-bencinya ia pada orangtuanya terkadang dengan segala keegoisan mereka, kebebalan mereka, ia juga tidak akan bahagia kalau mereka mati begitu saja.
Masih ada harapan di hatinya, sedikit, setitik, tapi berakar kuat, harapan kalau satu hari nanti ia dan orangtuanya bisa duduk bersama dan berbincang santai. Hanya itu. Berbincang. Tanpa ada yang ngamuk-ngamuk, nangis-nangis, tuduh-menuduh. Semoga … satu hari nanti.
Semoga Tess dan Finnley bisa bersama. Entah apa itu mungkin?
Semua semoga itu akan punya kemungkinan happy ending kalau mereka semua selamat malam ini.
Nadine meremas tangannya, menganggukkan kepalanya mantap.
Udara di dalam ruangan itu menjadi begitu dingin, Nadine mulai menggigil. Dari tembok seberang mereka, muncul asap hitam yang menyusupi retakan-retakan halus di tembok tua ruangan itu.
Asap hitam yang membentuk figur Argath.
Argath berdiri di tengah ruangan. Tidak ada ledakan heboh, tidak ada teriakan-teriakan mengumumkan kedatangannya. Utusan iblis itu hanya berdiri, dengan hawa dingin yang memenuhi seluruh ruang, dengan seringai tipis yang mampu membuat jantung Nadine seakan berhenti berdetak, dan dengan mata hitam total tanpa putih yang entah mengapa terlihat begitu ekspresif, begitu penuh kebencian dan kejahatan.
Tiba-tiba, Argath melompat tinggi, dan melempar serangan pertama. Sebilah pedang besar berwarna hitam pekat muncul di tangannya, dan mulai menyerang Griel secara membabibuta.
Griel menjejakkan kakinya, melompat sama tingginya dengan Argath, dan sepasang sayap hitam terkembang.
Keduanya bertarung dengan pedang yang memercikkan bunga api, dengan putaran-putaran angin yang serupa ada angin kencang di dalam ruangan itu. Walau anehnya, tidak ada perabot yang bergerak, seolah keduanya ada dan bertarung di dimensi lain.
Nadine melongo menatap pertarungan pedang itu. Griel mengibaskan sayapnya kuat-kuat, dan Argath terpelanting jatuh ke lantai lagi. Dalam marahnya, Argath mulai berteriak. “Kau malaikat gagal! Dua manusia tewas karenamu! Kau gagal! Bodoh! Untuk apa kau jadi malaikat? Lebih baik kau lenyap!”
Perkataan Argath membuat Griel melayang turun, berdiri di hadapan Argath. Dari napasnya yang memburu, Nadine tahu kalau perkataan-perkataan Argath berhasil menusuk sang malaikat pemburu.
Argath berjalan pelan, mengitari Griel. “Kau gagal, Griel. Kau tinggal begitu lama di dunia manusia, kau ternoda dengan segala emosi manusia. Pemuda malang di tempat parkir itu. Kau tidak pernah boleh mencelakainya, bukan begitu? Tapi kau membiarkan kemarahanmu lepas liar karena pemuda itu mengganggu Nadine. Emosi manusia sudah merasukimu!”
“Hentikan!” bentak Griel, lalu ia mulai menyerang Argath lagi, dan Argath terbahak-bahak.
“Kau tidak layak menjadi malaikat, Griel! Kau gagal!” bentak Argath.
Griel tergetar, serangannya menjadi kacau, dan Argath menghantam malaikat itu dengan ujung pedangnya. Griel menangkis, tapi ujung pedang yang tajam berhasil menggores pipinya.