BROKENLIGHT

Lia Tjokro
Chapter #27

BAB 26: RAHASIA KECIL

Musim semi itu begitu indah. Bebungaan yang tumbuh subur, menebar aroma wangi lembut semerbak di udara. Rumput-rumput hijau segar yang baru dipotong menebar aroma khas “rumput” yang membawa suasana musim semi semakin intens terasa. 

Cahaya mentari bersinar lembut pagi itu di halaman belakang rumah keluarga Vargari.

Kursi-kursi berbalutkan satin putih, karpet merah dengan kelopak mawar putih yang bertebaran, semua sudah tertata rapi untuk acara yang sangat spesial. Tamu-tamu yang tidak banyak jumlahnya mengenakan pakaian terbaik mereka, duduk rapi, berbincang dalam bisikan-bisikan, dan ada dua anak yang menjadi bagian dari tetamu.

Nadine melihat Papa duduk di barisan depan, sibuk mengetik sesuatu di ponsel pintarnya, ia sedang sibuk menyelesaikan plotting novel terbarunya, novel yang ia percaya akan benar-benar jadi bestseller.  

Gadis itu menatap Papa cukup lama, berharap novelnya yang sedang ia plot ini akan benar-benar jadi bestseller. Lalu ia menghela napas dalam-dalam, mengalihkan pandangannya dari Papa, dan membiarkan udara musim semi yang segar merasukinya. Bibirnya merekah dalam seulas senyum, menenangkan hatinya yang berdebar keras. Pandangannya ia lempar ke berbagai arah, mengamati tamu-tamu, dan tersenyum pada siapa pun yang tersenyum padanya. 

Matanya lekat di seorang anak, berumur kira-kira dua-tiga tahun, yang berjongkok di barisan belakang para tamu, di atas rumput. Anak laki-laki itu sibuk berbicara sendiri, sesekali tertawa, sambil tangannya sibuk memilin-milin rumput. Nadine mengangguk pada dirinya sendiri, tersenyum, teringat mimpinya. Anak itu pasti sedang ditemani malaikat penjaganya. Apakah Nenek Samantha juga ada di sini? Pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benak Nadine. Ia masih merindukan nenek kesayangannya itu, kerinduan yang muncul naik turun bagaikan gelombang ombak laut yang kadang surut kadang pasang.

Tiba-tiba, seseorang meraih dan menggenggam erat tangannya. Ia menoleh dan tersenyum. Lucas tampak begitu tampan dengan jas hitamnya. Mata biru pemuda itu bersinar lembut. Bekas luka di pipinya karena goresan pedang Argath akan terus ada, mengingatkannya akan hidup yang sudah lampau.

“Kau nervous?” Nadine bertanya sambil balas meremas erat tangan Lucas.

“Sedikit. Kuharap ia bisa mengingat semua janji suci yang ia tuliskan sendiri itu,” Lucas tersenyum sambil menatap ke depan. Ke Finnley, ayahnya yang tampak begitu gagah dalam balutan tuxedo putih. Rambut putihnya disisir mengkilap dengan gel rambut, kumis janggut putihnya dicukur rapi, dan raut nervous jelas terlihat di wajah pria tua itu.

Lihat selengkapnya