Brother In Drizzle

V. Akhiriana Widi
Chapter #1

BID 1: Hello, Drizzle!

        “Really? Just a stupid misty green tapi dibilang Telaga Warna?”

           Foa maju sampai ke pinggir telaga. Matanya jelalatan ke segala arah. Mencari-cari alasan yang tepat untuk mendukung nama tempat itu.

           Telaga Warna mereka bilang, tapi yang ada di mata Foa cuma warna hijau yang keruh dan tidak ada bagus-bagusnya.

           Sebagai pengunjung, Foa kecewa. Pemuda enam belas tahun blasteran Bali-Hamburg itu mondar-mandir tidak terima. Kata Foa, ini namanya pembohongan publik.

           Telaga Warna harusnya punya banyak warna seperti yang ada di pikiran Foa. It can be red, yellow, black, white, whatever it is, yang penting jangan cuma hijau!

           “Harusnya ... Telaga Hijau namanya ... iya! Lebih cocok Telaga Hijau nih.”

           Setelah capek protes entah ditujukan kepada siapa, Foa akhirnya memilih untuk jongkok di pinggir telaga. Dia menekuk lutut, memunguti kerikil-kerikil paling dekat lalu dilempar jauh ke depan.

           How bored!

           Tidak sampai tiga lemparan, Foa sudah kesal lagi.

           “Awh! Gila! Ini bikin bete. Kenapa sih suka pada bohong? Mom bohong, dad juga bohong. Kenapa orang-orang juga mesti ikut bohong kayak mereka?”

           Kelihatan kan sekarang kalau Foa itu lagi stres. Jelas masalah keluarga. Buktinya, ayah dan ibunya ikut disebut-sebut.

           “Kenapa orang-orang bilang kalau ini namanya Telaga Warna tapi warnanya cuma ada satu? Why do people always being liar? Mereka pikir, aku bakal punya kebahagiaan macam apa di tempat kayak gini?”

           Foa berdiri lagi lalu jalan-jalan menyelusuri tepi telaga tanpa tujuan pasti.

           Dia pikir, dia akan menemukan hal yang seru ketika tetangga di rumahnya yang baru bilang kalau Telaga Warna itu bagus!

           Buat Foa yang di Bali kerjaannya main sama laut dan tenggelam di ingar bingar dunia wisata yang kekinian sekali, Telaga Warna itu apa? Levelnya seujung kuku Foa saja tidak ada.

           Foa berdecih sebal saat lewat ke salah satu gazebo dan mendapati sepasang kekasih yang sedang foto-foto berdua. Dia terus berjalan. Dibanding melihat telaga, dia lebih tertarik dengan hutan di sekelilingnya. Tapi, ada tulisan yang melarang pergi ke sana.

           Mau berenang? Juga ada larangannya.

           “Aaaargh, what should I do here?” Karena bingung harus apa, Foa memutuskan untuk kembali ke arah sebelumnya. Dia duduk di sebuah jembatan kecil dan mengulurkan kakinya ke bawah.

           Tangannya menjulur ke sela-sela pagar jembatan, begitu juga dengan wajahnya yang ditekuk tidak tanggung-tanggung.

           Foa, baru saja pindah dari Bali satu hari yang lalu.

           Ayahnya bekerja sebagai koki. Entah kenapa mesti pindah ke Cisarua, Bogor. Padahal karirnya di Bali setahu Foa sudah bagus sekali. Jadi head chef di Ramanda Resort. Coba, kurang apa lagi jabatannya?

           Harusnya kalau mau pindah, dad pindah ke Jakarta. Kerja di Hotel Indonesia Kempinski, atau Oriental Mandarin Hotel misalnya. Kan kelihatan upgrade-nya. Nah ini, dad pindah ke Cisarua.

           Foa tahu hotel yang sekarang jadi tempat kerja ayahnya lumayan bagus juga. Salah satu yang terbagus di Puncak malah. Royal Safari Hotel ... bagus, kan?

           Tapi, Foa masih tidak terima dengan lingkungan barunya sekarang. Cisarua terlalu dingin di hati Foa. Dia harus memulai mencari teman dari nol lagi. Bukan teman yang mau dekat-dekat hanya karena tampang bulenya yang keren. Tapi, yang benar-benar mau menjadi teman.

           Susah kan carinya!

           Lagi, di Puncak ini lebih banyak bule Arab yang hobi nikah kontrak daripada bule macam dia. Paling penting, Foa jadi jauh sama kebutuhan remaja-remaja zaman sekarang.

           Puncak itu lumayan jauh dari yang namanya mal. Please stop thinking that Foa itu anak mami yang doyan belanja.

           Foa pergi ke mal cuma buat nonton lalu main-main di Timezone sampai menghabiskan banyak uang. Tidak kalah penting, Foa tidak tahu mesti bermain basket sama siapa di rumahnya yang baru.

           Di Bali, rumahnya dekat dengan GOR di Renon. Officially jadi point guard di tim basket sekolahnya pula. Maunya, kalau pindahnya ke Jakarta, at least Foa masih bisa main-main ke Senayan.

           Kalau pun tidak bermain lagi, Foa jadi dekat kan kalau mau nonton Satria Muda atau Stapac tanding. DBL, IBL, apa pun itu kan lebih sering digelar di Jakarta, bukan di Cisarua!

           Lah di Puncak? Ah sudahlah, Foa jadi frustrasi.

           Puncak benar-benar menjauhkan mimpinya.

Lihat selengkapnya