Brother In Drizzle

V. Akhiriana Widi
Chapter #2

BID 2: Foa is Being Foa

      “Fo, jangan diulangi lagi!”

           Foa menunduk mendengarnya. Flora kalau sudah marah itu menyeramkan. Foa yang imut dan lucu bisa-bisa langsung gepeng dengan sekali tepuk.

           “Why don’t you listen to your Mom, Fo? She knows the best. And here in Puncak ... is the best place for us.” Evandrre yang baru pulang kerja malam itu jadi ikut nimbrung ke perbincangan alot yang sedang terjadi di antara anak dan istrinya.

           Foa mendengkus.

           Yang terbaik apanya? Dia kehilangan mimpi buat jadi peselancar keren dan pemain basket yang pro memangnya itu baik?

           “Jangan pergi ke Jakarta sendirian. Kamu tau nggak sih, itu bahaya banget!”

           Foa mengangkat kepala lalu bersitatap dengan Flora yang masih saja melotot ke arahnya.

           How scary!

           “Mom, aku main-main ke Plaza Festival! Di sana ada mal, dekat bioskop, di sana juga ada GOR. Aku ketemu sama Rony Gunawan, Arki Wisnu, yang lebih keren aku ketemu Ronaldo Sitepu tadi.”

           Flora mendesah kecewa. Anaknya nekad pergi ke Jakarta sendirian, naik bus, cuma buat pergi ke mal dan bangga-banggaan bertemu sama pemain basket? Bahkan Rony Gunawan pun sekarang sudah pensiun, tidak lagi bermain di Satria Muda. Menurut ibu-ibu seperti Flora, kebanggaann semacam itu agaknya sedikit useless.

           Sementara dia di rumah, jantungan. Evandrre juga sampai tidak fokus kerja gara-gara Foa pergi dari pagi sampai malam tanpa kabar.

           Tahu-tahu, begitu di-track pakai aplikasi di ponsel, Foa sedang di Jakarta Selatan.

           Dasar spaneng maker!

           Pulang-pulang sudah hampir jam satu malam. Kata Foa, dia naik commuter line jam-jam terakhir dari Jakarta ke Bogor. Sampai Bogor, dia naik angkutan umum sampai Cisarua.

           “Sadar diri sedikit, Fo. Tampang kamu itu, tampang-tampang target robbery banget! Gimana kalau di jalan tadi kamu dirampok, terus dilukai, dan kamu pulang-pulang udah dalam keadaan sekarat? Pernah mikir nggak kayak apa perasaan Mom sama Dad, hm?”

           Foa memanyunkan bibir. Dia mengeratkan jaket. Tempat yang sekarang dia tinggali memang dingin kalau sudah malam. Kulitnya suka merah-merah kalau kedinginan.

           “Mom baru aja mengeneralisir saudara-saudara sebangsa Mom dengan ngomong kayak gitu. Nggak semua orang ngeliat bule sebagai target perampokan, Mom. Orang Indonesia itu baik-baik. Buktinya, tadi aku naik angkot malam, biasa-biasa aja. Nggak ada apa-apa. Malah dibangunin pas nyampe di depan jalan.”

           Evandrre mendesah ngeri. Pria itu sampai mengurut dada membayangkan anak satu-satunya naik angkot tengah malam. Ketiduran pula!

           Untung saja Foa masih bisa pulang. Dengan selamat!

           “But still you have to be aware, Fo. Jaga-jaga dan waspada itu perlu. Wajib! Bukan berarti kita memukul rata orang kalau mereka itu perampok. Tapi please notice, nggak semua orang punya tabiat baik juga. Apalagi kamu, kamu lagi nggak ada uang pun bisa jadi korban perampokan gara-gara tampang kamu bule, penampilan kamu oke. Let’s say it’s a primitive mind, tapi please, stigma kayak gitu emang masih ada.”

           Foa terdiam mendengar perkataan dari Evandrre. Memang sih, ayahnya itu benar.

           Foa juga bingung. Dibanding dengan Dustin, Leon, atau Bjorn di Bali, tampang dia itu tidak ada apa-apanya. Tapi tetap saja, pas dia nongkrong di Kuta, atau sekarang nih, di Puncak, dia mengantri beli KFC saja tetap ada yang minta foto bareng.

           Stigma!

Lihat selengkapnya