Brother In Drizzle

V. Akhiriana Widi
Chapter #3

BID 3: Second Drizzle

      “Peraturannya diganti dong, Fir.”

           Foa sibuk melempari batu ke arah telaga. Sedang Firland diam saja di bawah pohon. Duduk, melamun, mukanya pucat, dingin. Seperti tidak ada semangat-semangatnya temu sapa dengan Foa.

           Sebaliknya, Foa bahagia bertemu Firland.

           “Firland!” Foa balik badan dan mendengkus begitu sadar kalau dari tadi Firland cuek. Boro-boro memberi penghiburan, sekedar mendengar juga tidak.

           “Fir, kamu niat nggak sih jadi temen aku?”

           Firland melirik malas lalu menghela napas. Membuat Foa gemas sampai ingin nonjok.

           “Aku tuh ya udah bete banget. Di sekolah, di rumah. I have no friend! Sejauh ini yang mau kenalan sama aku nggak pake histeris itu cuma kamu. Tapi, kalau kamu diem terus kayak gitu, itu sama aja kayak aku di rumah sama di sekolah. Keberadaan kamu jadi nggak ngaruh. Kamu ngomong dong, jangan diam aja!”

           Foa maju sambil lalu menjatuhkan diri, duduk bersila di depan Firland. Memblokade arah tatapan Firland yang lurus ke tengah telaga.

           “Kita berteman bukan berarti aku harus ngikutin kualifikasi seorang teman yang ada di otak kamu, kan?” Firland menatap Foa dari mata ke mata.

           Penuh sama aura dingin yang membuat Foa jiper seketika.

           Firland ini mirip semacam gangster, tidak melakukan apa-apa tapi membuat keki.

           “Kalau mau berteman sama aku, ya ini aku. Kamu harusnya nggak usah nuntut aku buat ini buat itu. Otak sama hati orang itu beda-beda, Fo. Kalau kamu mau cari teman yang sesuai sama kebutuhan kamu, kamu bikin robot sana. Kasih sensor yang sama persis kayak isi kepala kamu biar kalian bisa setipe.”

           Foa diam.

           Firland ini pendiam, tapi kalau sudah bicara, Foa mendadak tidak bisa protes. Padahal, kalau sama Evandrre dan Flora, Foa ini sudah seperti profokator demo. Koar-koar terus!

           “Aku kaku, nggak talkactive, nggak seru, gini-gini aja, nggak bisa basa-basi. Kalau kamu masih mau berteman, silakan. Nggak mau juga nggak apa. Yang butuh teman itu kamu. Sebenarnya, aku nggak.”

           Firland berdiri. Menepuk-nepuk celananya yang kotor karena remah-remah tanah dan daun kering.

           Tubuhnya tinggi, jangkung. Hampir sama seperti Foa. Tapi Firland lebih kurus. Tampang gantengnya tersamar karena Firland kelewat layu.

           Asumsi sementara di kepala Foa adalah Firland ini sedang ada masalah berat. Makanya dia jadi seketus itu.

           Jadi, dia sadar sudah salah sekarang. Di dunia ini yang punya masalah tidak cuma dia. Semua orang punya masalahnya masing-masing. Termasuk Firland. Wajar kalau Firland marah.

           Foa seenaknya misuh-misuh tidak jelas. Hanya memikirkan diri sendiri, tidak memikirkan beban yang mungkin sedang ditanggung oleh Firland.

           “Firland, sorry.”

           Firland melirik sekilas. Dia tidak bisa menyalahkan Foa juga. Pasti berat sekali jadi Foa, jadi kaum minoritas yang harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Kesulitannya mungkin berjubel.

           “Butuh teman apa pelampiasan?” Firland menyeringai pelan.

           Saat Foa balik menatap Firland, Foa merasa ngeri tiba-tiba. Firland yang layu jadi terlihat sangar kalau senyum miring seperti itu.

           Jangan-jangan ....

           “Fo! Let’s go, I’ll show you something.

           Foa menganggukkan kepala. Lalu menyusul Firland yang sudah pergi duluan ke arah sudut telaga yang sepi.

           Anak itu celingukan, sepertinya Firland mau memberi kejutan.

           Kemungkinannya ada dua.

           Satu, dia kaget dan bahagia. Dua, Foa kaget dan celaka.

           Finger crossed! Semoga Foa masih bisa napas setelah ini.

           “Firland, where are we going?”

           “Jadi bajak laut.”

           Foa tertawa mendengarnya. Firland ini ngaco. Mereka lagi di telaga. Masa iya mau jadi bajak laut?

           Tapi, tawa Foa buru-buru terhenti saat mereka berhenti di sisi telaga yang pinggirannya ditumbuhi rumput-rumput teki. Lebih dari itu, yang membuat Foa tegang adalah saat Firland mendahuluinya melompat ke perahu sampan yang talinya dikaitkan ke batang pohon.

           “Ayo, mau ikut nggak?”

           Foa menelisik sampan kayu yang kecil itu. Dinaiki dua orang sih sepertinya muat. Tapi ....

           “Fir, di sana di deket gazebo-gazebo ada sampan wisata. Lebih besar dan lega. Lebih safety juga. Kalau cuma mau ke tengah, ngapain kita naik sampan kecil ini? It’s going to sinking easily. Kalau bocor pas kita di tengah telaga gimana?”

           Firland mendengkus, dia menggosok telinganya. Foa memang rajanya argumentasi dan protes.

Lihat selengkapnya