BTARI (Ambang Batas)

Tika Lestari
Chapter #2

Keuangan yang Tidak Stabil

Malam yang sama sekali tak diduga oleh Btari. Bahkan harus dia dengar saat impiannya menjadi sarjana tinggal selangkah lagi. Air mata yang selama ini berusaha ia tahan, seketika ambrol saat mendengar bapaknya bercerita bahwa keuangannya tidak stabil.

Ibunya terlihat biasa saja, tangannya masih sibuk membuat opak di ruang tamu. Sementara kedua adiknya juga turut membantu. Tapi dia yakin kalau kedua adiknya paham apa yang menjadi topik perbincangan keluarganya.

"Bus kemarin ada demo kenaikan harga BBM, bapak beberapa hari tidak kerja, untung saja ini opak buatan ibu laris di toko-toko," ucap bapak

"Kalau Btari cuti kuliah bagaimana? Btari lanjut kalau sudah dapat kerja," lanjut bapaknya lagi.

Btari paham betul, sangat paham, kalau bapaknya sudah bicara demikian, itu artinya keadaan keluarga memang sedang darurat. Selama ini yang menjadi kekuatan Btari hanya dorongan atau motivasi bapaknya. Sedangkan malam ini, kata yang tak pernah Btari pikirkan, namun jadi ungkapan yang menghujam harus dia dengarkan.

Btari hanya bisa menangis, kali ini dia menangis dengan perasaan sakit. Makan malam yang belum habis ia santap, harus ia selesaikan dengan keadaan menangis. Seperti ini rasanya menangis sambil makan. Ada semacam nyeri yang tidak sanggup diceritakan.

Btari melirik sekilas ibunya, ibunya masih datar-datar saja. Namun ia melihat beberapa tetesan air mata melewati kedua pipi ibunya. Perempuan yang melahirkannya juga menangis mendengar ucapan suaminya baru saja.

Sementara kedua adiknya juga membantu tak bersuara. Btari yakin kalau adiknya juga menangis, tangan itu sesekali mengusap pipi masing-masing. Resti, adik pertamanya terlihat menangis, namun tangannya masih sigap mengambil opak yang habis di pipipihkan ibunya. Sementara Winda, adik keduanya mengolesi minyak di bagian alas untuk menjemur opak.

Bapaknya mengupas singkong, situasi seperti ini memang tidak nyaman untuk membahas perkuliahan Btari. Namun apa boleh buat, hanya waktu seperti ini yang membuat seluruh keluarga kumpul. Mereka keluarga yang pengertian, kalau berdiskusi tanpa aktivitas, bisa saja mereka hanya akan meratapi nasib. Saling tangis menangis yang bahkan bisa saja timbul rasa pesimis akan hidup. Sedangkan saat sekarang, diskusi bisa dilakukan meskipun dengan aktivitas, tanpa ketinggalan air mata berjatuhan.

"Bersyukur ya Nak, sudah bisa sekolah di semester ini, banyak loh dari teman-teman kamu yang tidak bisa melanjutkan pendidikan usai tamat SMA," lanjut bapaknya.

Btari semakin menangis. Bayangan pengorbanan yang selama ini ia perjuangkan, apa harus ditunda meskipun tinggal selangkah lagi? Bagaimana mimpi selanjutnya? Kalau dia bekerja di pabrik, jelas sudah kalah jauh dengan teman yang baru lulus SMA. Kalau di lanjut, apa tega ia melanjutkan ketika bapaknya berkata cuti kuliah?

Btari resah dengan keputusan yang harus dia ambil. Pikirannya kacau, otaknya memanas, dia hanya bisa menangis, menangis yang tidak bisa keras. Hanya sesenggukan yang sungguh menyiksa perasaannya tersebut.

"Kalau pendapat ibu bagaimana?"

Pertanyaan bapak membuat ibu menghela napas. Btari melihat, ibunya masih datar-datar saja. Tak ada air mata yang jatuh di pipi. Padahal tadi ia melihat sekilas, sepandai itu kah kesakitan yang dia sembunyikan? Apa iya ibunya turut merasakan sakit seperti yang dia rasakan saat ini.

Mengingat sejak masuk kuliah pertama kali, ibunya yang menentang. Kemudian dititik sekarang, apa yang menjadi kekhawatiran ibunya menjadi kenyataan. Bukankah ibunya senang karena Btari sudah tidak kuliah lagi?

Pikiran buruk Btari berkecamuk, dia berburuk sangka pada ibunya. Karena memang sebelumnya ucapan ibunya tidak mendukung untuk kuliah.

Helaan napas berat terdengar dari ibunya, seperti beban berat juga sedang dipikulnya.

"Apa kata bapak saja, ibu ikutin keputusan bapak," ucap Ibunya.

Btari semakin menangis menjadi-jadi, kedua orang tuanya tidak ada yang mendukung pendidikannya. Lantas apa yang harus dipertahankan lagi.

Btari ingat betul bagaimana dia berjuang membuat draft proposal skripsi. Bagaimana dia pergi wawancara bertemu informan. Bagaimana dia bolak balik print out skripsi. Haruskah ia berhenti saat ini juga?

Air mata masih membasahi pipinya, semakin deras saja keluarnya. Sudah tidak ada lagi yang berada di pihak Btari. Rasanya ia ingin segera melewati malam ini. Dan hari esok akan indah yang dia temui.

Lihat selengkapnya