BTARI (Ambang Batas)

Tika Lestari
Chapter #5

Kritik Masyarakat

Sesampai di rumah, peluk Btari berhamburan ke ibunya. Tangis haru yang dia rasakan saat ini berasa bahagia. Btari ingat pagi tadi sedang izin untuk melaksanakan sidang skripsi. Kemudian sore hari menginformasikan kalau sidang skripsi lancar tinggal menunggu wisuda. Belum ada 24 jam tapi rasanya lama sekali.

Kedua adiknya? Sudah pada rebutan buket jajan yang Btari bawa. Teman Btari banyak yang ngasih souvernir. Sebagai tanda memberi selamat kepada Btari atas sukses sidangnya. Btari tidak mempermasalahkan souvenirnya habis, karena dia sendiri sangat senang atas pencapaian saat ini. Biarkan dia berbagi kesenangan dengan cara yang berbeda.

Rupanya bapak Btari juga sudah di rumah, ibunya bilang sengaja pulang jualan lebih awal. Karena tidak sabar menunggu Btari memberi kabar bahagia. Btari semakin terharu, tangisnya pecah karena merasa lebih bersyukur bisa hadir di lingkungan keluarga seperti ini.

Saat merengkuh pundak terkuat itu Btari menangis terseduh. Teringat sekali perjuangan bapaknya. Sebisa mungkin menghindari bus kota yang biasa gunakan Btari saat pulang kuliah dulu. Supaya bapaknya tak bertemu Btari. Bapaknya tau kalau Btari tidak malu memiliki orang tua pengasong. Tapi lebih ke kasihan Btari kalau dirinya merasa harus bagaimana ketika bertemu bapaknya.

Btari kembali teringat akan ucapan malam hari antara kedua orang tuanya. Siapa suruh Btari jarang tidur saat malam hari. Karena itu, dia mendengar ucapan Bapaknya.

"Kalau Btari masih saja mau sekolah, Bapak jual ginjal saja lo Bu," ucap Bapak.

"Bapak ini mbok ya dipikir panjang, jual tubuh sendiri itu efeknya jangka panjang, kalau memang nggak bisa sekolahin Btari lagi, biar dia kerja dulu," jelas ibu.

"Lahwong hidup dengan satu ginjal itu masih bisa kok Bu," ucap bapak lagi.

"Apa kata Mbahnya nanti Pak, ide kok nggak solutif gini, malah nyakitin diri sendiri, nyakitin anak, nyakitin keluarga," ibu masih berkata dengan suara datar.

Btari bersandar pada dinding, kemudian duduk di lantai sambil menyimak obrolan dua orang dewasa itu. Sesulit ini kah menyekolahkan dirinya?

Tak tahan dengan yang dia dengar, Btari menghidupkan lampu dapurnya. Kebetulan kamar kedua orang tuanya dekat dengan dapur. Sebenarnya bukan hal biasa kalau pukul 3 dini hari, Btari sudah keluyuran di dalam rumah. Namun ibunya tetap menanyakan keperluan Btari. Btari hanya menjawab singkat, dia tidak ingin tau kalau orang tuanya mengetahui bahwa dirinya sempat menguping pembicaraan. Suara Btari terdengar serak dan basah.

"Kalau mau sahur, masih ada telor dadar di rak," ucap ibunya.

"Iya Bu," jawab Btari singkat.

Btari hanya buang air kencing sekaligus gosok gigi, tidak lupa untuk sekalian berwudhu. Rasanya tidak selera untuk sahur. Biar saja cukup minum, toh seharian puasa Btari tidak akan mokel.

Sudah jadi kebiasaan Btari menjalankan puasa Sunnah. Bukan karena santri yang alim, lebih ke hemat. Daripada hemat saja cuma dapat lapar mending sekalian puasa juga biar dapat pahala.

Entah malam ke berapa Btari selalu menumpahkan air matanya. Menangis di atas sajadah usang yang berusia puluhan tahun. Menengadahkan tangan karena dia merasa kecil saat dihapadan sang penciptanya. Mencurahkan segala isi hati, keluh kesah, atas takdir yang digariskan untuknya. Bukan karena marah, melainkan perlu kekuatan untuk menghadapinya.

Lihat selengkapnya