12 Mei 1989 Jalan HM. Yamin.
Suara alunan musik terdengar dari tape recorder. Pili bersiul kecil mengikuti nadanya. Ia harus bersiap-siap menghadiri undangan bermain musik di salah satu hotel berbintang di kota Medan. Lelaki berhidung mancung dengan rambut tebal yang sedikit ikal itu, beberapa kali menyemprotkan parfum ke bajunya. Diana yang sejak tadi memandangi ulah suaminya, hanya bisa tersenyum simpul.
Sudah sebulan mereka tidak mendapatkan job untuk manggung, apalagi sejak Diana memutuskan untuk berhenti menyanyi, Pili sering kelabakan mencari biduan yang bisa ia ajak untuk bergabung dengan band-nya. Bukan tanpa alasan Diana memutuskan untuk vakum, kelahiran putra keduanya yang baru berumur setahun itu, harus menjadi prioritas mereka. Keputusan sudah bulat, mereka sama-sama setuju untuk mengorbankan salah satu tambahan pendapatan rumah tangga mereka demi fokus menjaga tumbuh kembang anak-anaknya yang masih kecil.
“Aku berangkat sekarang.” Pili memanggul gitar kesayangannya seraya mencium kening Diana sambil lalu.
Romantisme kecil yang sama sekali tidak romantis sebenarnya. Walau rumah tangga mereka baik-baik saja, hubungan Pili dan Diana mungkin lebih bisa dibilang seperti hubungan dua anak manusia berlain jenis yang menjalin sebuah persahabatan ketimbang sepasang suami-istri yang saling mencintai.
Menikah di usia yang masih terbilang muda--yang terpaut jarak hanya dua tahun dari Pili, Diana merasa kalau menikahi Pili adalah satu-satunya jalan demi bisa bebas dari keluarganya. Ya, Diana memiliki kenangan dan hubungan yang tidak baik dengan orang tuanya yang terkenal diktator. Melepaskan diri dengan alasan membina rumah tangga adalah hal terhalus yang ia utarakan kepada orang tuanya walau kemudian Diana yang tomboy, harus memilih Pili–sahabat kentalnya untuk dijadikan sebagai pasangan sehidup semati.
Deru sepeda motor sudah terdengar menjauh. Diana mengangkat si bungsu, Salim, dari pangkuannya ke tempat tidur. Menyusul kemudian Ilham, si sulung yang masih duduk di kelas tiga SD. Hati-hati sekali Diana bergerak. Sedikit suara, bisa saja membangunkan putranya yang masih belum terlalu nyenyak tidur.
Diana bergegas mengunci pintu rumah, Pili yang biasanya pulang sebelum azan subuh, memilih untuk membawa kunci cadangan daripada harus membangunkan istrinya untuk membukakan pintu. Pili mengerti bagaimana lelahnya Diana mengurus segala tetek-bengek rumah tangga mereka. Untuk itu, urusan remeh-temeh seperti membuka pintu, menyambut kepulangannya, bukan hal wajib yang patut Diana jalani dan Pili tidak pernah mengharuskan istrinya melakukanya.
Diana menghela napas melihat kondisi rumahnya yang masih berantakan. Di jam istirahat pun rasanya waktu untuk ia menjalani masa bersantai tidak bisa ia dapatkan. Namun, tidak seperti biasanya, ketika anak-anaknya tidur, Diana memilih untuk sekedar mengurangi pekerjaan keesokan hari dengan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. Tidak demikian malam ini. Diana malah memilih untuk segera terpejam karena sudah keletihan.
****
Lampu-lampu jalanan masih terang benderang. Baru setengah sembilan, Pili masih memiliki waktu sebelum tiba di Hotel Toba. Namun, sesuatu seakan mengganjal di hatinya ketika melihat suasana malam yang sedikit asing kali ini. Di jalanan yang biasanya masih ramai, Pili sendiri merasa kebingungan dengan keadaan jalan yang berbeda dari biasanya. Seperti makhluk asing yang baru turun ke dunia yang berbeda. Ada pemandangan ganjil yang cukup membuat dadanya berdetak kencang. Entah bagaimana ia bisa tidak mengetahui kejadian di luar rumahnya seharian ini.